Aku duduk di depan bapak dan ibu guru itu. Aku measih mendengarkan bapak dan mamakku, yang tetap bicara bahwa aku tidak membutuhkan pendidikan. Tidak usah sekolah dan sebagainya.
"Begini pak, bu. Anak seperti ini juga harus bersekolah. Pemerintah sudah mendukung dengan adanya Sekolah Luar Biasa di setiap kecamatan. Ada baiknya anak bapak dan ibu, disekolahkan juga. Kasihan nanti kalau sudah dewasa, tetapi tidak bisa apa-apa", kata pak guru itu. O iya, namaku Hani. Dan bapak guru itu memperkenalkan namanya, pak Wur.Â
"Duh, pripun nggih pak, bu? Biar anak kami ini, Hani, di rumah saja", kata mamakku.
"Apa tidak sebaiknya anak ibu ini ditanyai dulu. Mau atau tidak untuk bersekolah. Toh, ada contohnya, orang yang tunanetra seperti anak bapak ibu juga berhasil. Ada yang menjadi guru di sekolah kami. Bahkan menjadi PNS. Di sekolah juga ada asrama jika bapak dan ibu merasa kesulitan mengantar jemput putri bapak ibu", kata ibu guru. Namanya bu Sum.
Dengan banyak alasan bapak dan mamakku masih saja beralasan macam-macam. Hingga akhirnya, bapak dan mamak mau menerima usulan dari Pak Wur dan bu Sum.Â
"Piye, Han? Apa kamu ingin sekolah?", tanya mamak.
"Iya, mak..", jawabku.
Mungkin bapak dan mamak tidak mengira jawabanku seperti ini. Ya, karena bapak dan mamak tidak pernah bertanya kepadaku. Apakah mau bersekolah atau tidak. Yang diperhatikan hanya kakak-kakakku saja.
***
Aku sekarang sudah kuliah. Ya, harus "nibo tangi" untuk biaya kuliahku. Aku ikut mengamen untuk mendapatkan uang.Â
Semasa sekolahku dulu, aku juga sedikit-sedikit menabung untuk masa depanku. Dari mengisi acara pernikahan atau khitan, aku mendapatkan sedikit uang yang bisa ku tabung. Tepatnya ku titipkan pada salah satu guru di sekolahku.