Mohon tunggu...
Zahra Rasya Rahmani
Zahra Rasya Rahmani Mohon Tunggu... Mahasiwi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta

Memiliki ketertarikan dalam menulis dan membaca, menyukai karya sastra dan senang terlibat dalam diskusi-diskusi terkait segala aspek dalam kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sertifikasi Halal pada Produk Alkohol; Kaidah Hukum, Norma dan Aturan serta Pandangan Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence

9 Oktober 2024   11:52 Diperbarui: 9 Oktober 2024   11:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan beredarnya informasi terkait beberapa produk dengan nama yang mengandung unsur "tuak", "beer", "wine," dan bahkan "tuyul" yang berhasil mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH). Setelah dilakukan investigasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengonfirmasi bahwa informasi tersebut benar adanya. Sertifikat halal tersebut diperoleh melalui mekanisme Self Declare tanpa melalui Komisi Fatwa MUI. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi umat Islam mengingat produk beralkohol dilarang secara agama.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kewenangan penerbitan sertifikat halal telah dialihkan dari MUI ke BPJH. Meski demikian, keputusan terkait sertifikasi produk alkohol ini tentu menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan masyarakat khususnya masyarakat beragama Islam. Maka dari itu, berikut pandangan kaidah hukum, norma dan aturan-aturan hukum tentang sertifikasi halal produk alkohol serta bagaimana pandangan positivisme hukum dan sociological jurisprudence dalam fenomena ini:

Kaidah Hukum 

1. Maqasid al-Syariah

   Dalam kaidah Maqasid al-Syariah, hukum Islam bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Konsumsi alkohol dianggap merusak akal dan jiwa, sehingga produk yang mengandung alkohol bertentangan dengan prinsip ini. Tujuan utama dari kaidah ini adalah untuk melindungi umat manusia dari bahaya yang dapat mengancam moral dan kesejahteraan mereka.

2. Qiyas

   Qiyas adalah metode analogi dalam hukum Islam yang digunakan untuk menentukan hukum suatu hal dengan membandingkannya dengan perkara yang memiliki alasan yang sama (illat). Dalam hal ini, alkohol dipersamakan dengan khamr karena keduanya memiliki illat yang sama, yaitu memabukkan. Oleh karena itu, alkohol dianggap haram berdasarkan qiyas karena memiliki sifat yang sama dengan khamr.

3. Kaidah La Darar Wa La Dirar

   Kaidah ini bermakna "tidak ada mudharat dan tidak juga membalas kemudharatan". Produk yang mengandung alkohol dapat menimbulkan kerugian fisik, psikologis, dan sosial bagi konsumen, sehingga dilarang dalam Islam. Dalam konteks ini, konsumsi alkohol dilarang karena dapat menyebabkan kemudaratan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Norma Hukum

1. Norma Agama

   Dalam ajaran Islam, alkohol atau khamr secara tegas diharamkan. Q.S. Al-Maidah ayat 90-91 dan hadis Nabi saw. menyatakan dengan jelas bahwa segala hal yang memabukkan, termasuk khamr, dilarang bagi umat Islam. Oleh karena itu, sertifikasi halal pada produk alkohol bertentangan dengan norma agama yang sudah ada.

2. Norma Sosial

   Alkohol juga dikenal sebagai sesuatu yang membawa pengaruh negatif dalam masyarakat. Oleh sebab itu, adanya sertifikasi halal pada produk alkohol menimbulkan kekhawatiran bahwa produk yang seharusnya dihindari akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, sehingga akan menuai berbagai kontroversi dalam khususnya masyarakat beragama Islam.

 

Aturan Hukum yang Berlaku

1. Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, menegaskan bahwa penggunaan nama yang mengandung unsur kekufuran, kebatilan, atau nama benda yang diharamkan, seperti khamr atau alkohol, tidak boleh digunakan dalam produk halal.

2. Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 menegaskan bahwa produk halal tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang merujuk pada benda haram seperti alkohol atau babi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya ambiguitas terkait status halal suatu produk.

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta aturan pelaksananya, seperti PP Nomor 39 Tahun 2021 dan KMA Nomor 748 Tahun 2021, menjadi dasar hukum penyelenggaraan sertifikasi halal. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan produk yang beredar di Indonesia memenuhi standar kehalalan, namun harus diterapkan dengan tepat agar tidak terjadi penyimpangan dari nilai-nilai agama dan sosial.

4. Q.S. Al-Maidah ayat 90-91 secara tegas melarang konsumsi khamr (minuman memabukkan) karena dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian serta menghalangi manusia dari mengingat Allah. Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi saw. juga bersabda bahwa "setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." Aturan-aturan ini menjadi landasan hukum agama yang jelas dalam menolak konsumsi alkohol.

Pandangan Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence

1. Pandangan Positivisme Hukum

   Menurut positivisme hukum, hukum adalah aturan yang berlaku secara formal dan harus diikuti. Dalam konteks ini, pelanggaran terjadi ketika sertifikasi halal pada produk alkohol tidak sesuai dengan hukum yang berlaku atau bertentangan dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Positivisme hukum menekankan pentingnya aturan yang tegas dan konsisten. Dalam kasus ini, adanya ketidaksesuaian antara status halal yang diberikan dengan kenyataan bahwa alkohol diharamkan menunjukkan adanya kesalahan yang harus segera diperbaiki.

2. Pandangan Sociological Jurisprudence

   Berdasarkan pendekatan sociological jurisprudence, hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan formal, tetapi juga sebagai cerminan dari norma sosial dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Dalam hal ini, keputusan BPJH memberikan sertifikasi halal pada produk alkohol bertentangan dengan norma agama dan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia. Norma-norma ini, yang menolak konsumsi alkohol, sangat kuat di masyarakat muslim, dan sertifikasi halal pada produk semacam ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dan proses sertifikasi itu sendiri.

Kesimpulan

Sertifikasi halal pada produk alkohol menimbulkan berbagai perdebatan hukum dan sosial di Indonesia. Dari perspektif hukum Islam, produk beralkohol jelas bertentangan dengan prinsip Maqasid al-Syariah, qiyas, dan kaidah La Darar Wa La Dirar. Selain itu, aturan formal yang ditetapkan oleh MUI dan undang-undang juga menyebutkan bahwa produk yang terkait dengan alkohol tidak layak mendapatkan sertifikat halal.

Pandangan positivisme hukum menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengoreksi kesalahan ini, sementara pendekatan sociological jurisprudence mengingatkan bahwa keputusan ini bertentangan dengan norma sosial dan agama yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sertifikasi halal pada produk alkohol harus dievaluasi kembali agar lebih sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial yang berlaku di Indonesia, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses sertifikasi halal.

Zahra Rasya Rahmani 

222111009 HES5A

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun