Mohon tunggu...
Zahra Rasya Rahmani
Zahra Rasya Rahmani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiwi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta

Memiliki ketertarikan dalam menulis dan membaca, menyukai karya sastra dan senang terlibat dalam diskusi-diskusi terkait segala aspek dalam kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sertifikasi Halal pada Produk Alkohol; Kaidah Hukum, Norma dan Aturan serta Pandangan Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence

9 Oktober 2024   11:52 Diperbarui: 9 Oktober 2024   11:57 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

   Menurut positivisme hukum, hukum adalah aturan yang berlaku secara formal dan harus diikuti. Dalam konteks ini, pelanggaran terjadi ketika sertifikasi halal pada produk alkohol tidak sesuai dengan hukum yang berlaku atau bertentangan dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Positivisme hukum menekankan pentingnya aturan yang tegas dan konsisten. Dalam kasus ini, adanya ketidaksesuaian antara status halal yang diberikan dengan kenyataan bahwa alkohol diharamkan menunjukkan adanya kesalahan yang harus segera diperbaiki.

2. Pandangan Sociological Jurisprudence

   Berdasarkan pendekatan sociological jurisprudence, hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan formal, tetapi juga sebagai cerminan dari norma sosial dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Dalam hal ini, keputusan BPJH memberikan sertifikasi halal pada produk alkohol bertentangan dengan norma agama dan sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia. Norma-norma ini, yang menolak konsumsi alkohol, sangat kuat di masyarakat muslim, dan sertifikasi halal pada produk semacam ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah dan proses sertifikasi itu sendiri.

Kesimpulan

Sertifikasi halal pada produk alkohol menimbulkan berbagai perdebatan hukum dan sosial di Indonesia. Dari perspektif hukum Islam, produk beralkohol jelas bertentangan dengan prinsip Maqasid al-Syariah, qiyas, dan kaidah La Darar Wa La Dirar. Selain itu, aturan formal yang ditetapkan oleh MUI dan undang-undang juga menyebutkan bahwa produk yang terkait dengan alkohol tidak layak mendapatkan sertifikat halal.

Pandangan positivisme hukum menekankan perlunya tindakan tegas untuk mengoreksi kesalahan ini, sementara pendekatan sociological jurisprudence mengingatkan bahwa keputusan ini bertentangan dengan norma sosial dan agama yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sertifikasi halal pada produk alkohol harus dievaluasi kembali agar lebih sesuai dengan nilai-nilai agama dan sosial yang berlaku di Indonesia, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses sertifikasi halal.

Zahra Rasya Rahmani 

222111009 HES5A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun