Dalam ajaran Islam, alkohol atau khamr secara tegas diharamkan. Q.S. Al-Maidah ayat 90-91 dan hadis Nabi saw. menyatakan dengan jelas bahwa segala hal yang memabukkan, termasuk khamr, dilarang bagi umat Islam. Oleh karena itu, sertifikasi halal pada produk alkohol bertentangan dengan norma agama yang sudah ada.
2. Norma Sosial
  Alkohol juga dikenal sebagai sesuatu yang membawa pengaruh negatif dalam masyarakat. Oleh sebab itu, adanya sertifikasi halal pada produk alkohol menimbulkan kekhawatiran bahwa produk yang seharusnya dihindari akan lebih mudah diterima oleh masyarakat, sehingga akan menuai berbagai kontroversi dalam khususnya masyarakat beragama Islam.
Â
Aturan Hukum yang Berlaku
1. Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, menegaskan bahwa penggunaan nama yang mengandung unsur kekufuran, kebatilan, atau nama benda yang diharamkan, seperti khamr atau alkohol, tidak boleh digunakan dalam produk halal.
2. Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 menegaskan bahwa produk halal tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang merujuk pada benda haram seperti alkohol atau babi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya ambiguitas terkait status halal suatu produk.
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta aturan pelaksananya, seperti PP Nomor 39 Tahun 2021 dan KMA Nomor 748 Tahun 2021, menjadi dasar hukum penyelenggaraan sertifikasi halal. Undang-undang ini bertujuan untuk memastikan produk yang beredar di Indonesia memenuhi standar kehalalan, namun harus diterapkan dengan tepat agar tidak terjadi penyimpangan dari nilai-nilai agama dan sosial.
4. Q.S. Al-Maidah ayat 90-91 secara tegas melarang konsumsi khamr (minuman memabukkan) karena dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian serta menghalangi manusia dari mengingat Allah. Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi saw. juga bersabda bahwa "setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan adalah haram." Aturan-aturan ini menjadi landasan hukum agama yang jelas dalam menolak konsumsi alkohol.
Pandangan Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence
1. Pandangan Positivisme Hukum