Setiap kelompok masyarakat di Indonesia tentu saja memiliki kebudayaan dan tradisi sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Betawi merupakan salah satu suku bangsa yang berada di Indonesia, umumnya penduduk betawi bertempat tinggal di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Suku Betawi memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang beragam seperti: tarian, musik, teater, seni pertunjukan, teater, dan lain sebagainya.
Beragam Khasanah yang dimiliki Betawi tentu saja tidak ketinggalan dari Sastra Betawi. Beberapa sumber terkait menyatakan bahwa sastra Betawi sudah lama mendapat perhatian sejumlah ilmuwan mancanegara.Â
Salah satu buktinya adalah dengan terbitnya berbagai telaah tentang sastra Betawi masa lalu, yang naskah-naskahnya tersebar di berbagai perpustakaan perguruan tinggi di negara-negara maju, termasuk di Leningrad, Rusia.
Tidak banyak juga yang mengetahui mengenai sastra lisan Betawi. Menurut sejarawan Betawi, Bang Yahya Andi Saputra, sastra Betawi terdiri dari sastra lisan dan tulisan.Â
Sastra lisan Betawi sudah dikenal sejak masyarakat Betawi mengenal seni budaya. Sastra lisan Betawi memiliki beragam jenisnya, seperti: Jampe Betawi, Gambang Rancag, Palang Pintu, dan Ngebuleng. Salah satu sastra lisan yang jarang diketahui masyarakat umum adalah Gambang Rancag.
Gambang Rancag adalah pagelaran yang dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang menceritakan dengan atau dinyanyikan, diiringi orkes Gambang Keromong.Â
Seiring perkembangannya Gambang Rancag hadir untuk memeriahkan pesta-pesta terutama dalam lingkungan terbatas, Biasanya dipentaskan tanpa panggung, tempat pementasan letaknya sejajar dengan penonton yang berada disekelilingnya.
Biasanya rombongan Gambang Rancag membawakan mengenai peristiwa yang mengesankan bagi warga kota, seperti "Si Pitung", "Angkri", "Delep" dan lain-lain. Sering pula disajikan sketsa kehidupan atau gambaran sesuatu kehidupan, seperti rancangan "Randa Bujang".Â
Pada tahun dua puluhan juru Rancag yang terkenal antara lain Jian, seorang tuna netra yang memiliki suara "serak-serak basah", kata orang Betawi.Â
Apabila dia sedang berpantun menceritakan hal ikhwal "Si Pitung", misalnya, atau tentang "Keramat Karem" atau kisah-kisah lain dengan iringan lagu "Persi", para penonton seakan-akan menahan nafas karena khawatir ada kata-kata yang luput dari pendengarannya.