"Tapi apalagi, Mas?"
"Aku belum bisa menggajimu sekarang." Suaranya masuk ke ruang pendengaranku makin melemah.
"Enggak pa-pa, Mas. Lagian baru beberapa juga. Aku ikhlas membantu Mas Tresno." Aku tak tega mengambil gaji dari bos yang sedang terkena musibah.
"Boleh kita bertemu di rumahku, Yati? Ada sesuatu yang mau aku omongkan. Tak bisa melalui HP," tanyanya.
"Baiklah. Tapi, nanti saat mantan suamiku sudah ke sini."
"Oke."
Aku pun mengakhiri percakapan lewat telepon dengan Mas Tresno. Beberapa menit kemudian, Mas Tejo muncul. Dia baru saja selesai kerja. Tak perlu lama, aku undur diri menemui Mas Tresno. Aku ke sana menggunakan ojek online. Jarak rumah sakit dengan rumah Mas Tresno tak begitu jauh, lima belas menit aku sampai di depan rumah Mas Tresno.
"Masuk, Yati." Dia menyambut dengan senyuman. Syukurlah kalau Mas Tresno sudah kembali ceria.
Mas Tresno masuk setelah memastikan aku duduk di sofa ruang tamunya. Beberapa detik kemudian, dia membawa minuman untuk kami.
"Silakan diminum dulu, Yati."
"Terima kasih, Mas." Kebetulan sekali tenggorokanku sedang butuh asupan air minum.
"Sebenarnya, aku ...."
"Ada apa, Mas?"
Mas Tresno menatapku tajam. Bagaikan harimau yang hendak menerkam mangsanya. Dia pun beringsut mendekatiku. Aku takut dan menjauh darinya. Namun, Mas Tresno justru menarik lenganku. Tangannya hendak mencopot kancing bajuku.
"Mas, jangan, Mas," ucapku setengah menjerit.
"Dari awal aku menyukaimu, Yati. Tolong terima cintaku." Napasnya jelas sekali di telingaku tak beraturan.
"Tapi, ini tak baik, Mas." Aku hendak melarikan diri, tetapi dia berhasil meraih tanganku yang akhirnya tubuhku jatuh di pelukannya.
"Jangan, Mas. Tolong! Tolong!" Aku memberontak sekuat tenaga. Tak berhasil, sedangkan dia sudah mulai mencopoti kancing bajuku satu persatu. Akhirnya kugigit tangannya, lalu lari keluar dari rumah itu. Lari sekuat tenaga. Tiba-tiba ada mobil lewat yang hampir menabrakku.
"Yati." Dari kaca mobil itu kepala Pak Tohir menyembul.
"Pak, boleh saya menumpang, Pak. Tolong saya, Pak. Cepat."
Tanpa ada jawaban dari Pak Tohir aku segera membuka sendiri mobil itu. Untungnya Pak Tohir langsung membukakan pintu, jadi aku segera masuk.
"Ayok, Pak, cepat jalan. Saya sedang dikejar orang. Cepat, Pak!" Pak Tohir pun mengikutiku. Tampak jelas di wajahnya keheranan. Setelah jalan, aku baru bisa bernapas lega.
"Siapa yang mengejarmu, Yati?" tanya Pak Tohir.
"Mas Tresno, Pak. Dia mau memperkosaku."
"Dasar Tresno si tukang cabul. Sudah beberapa cewek yang menjadi korbannya itu. Dulu sudah ada yang laporin dia ke RT sini karena suka menowel pantatnya cewek-cewek langganannya. Ternyata kini penyakitnya semakin parah. Kamu hati-hati saja, Yati. Padahal baru saja kena musibah kebakaran. Dasar! Nanti saya laporkan ke RT lagi tu orang biar kapok." Pak Tohir mengemudi sambil berang sendiri. Kemudinya sampai beberapa kali dipukulnya.
Aku tak menyangka, ternyata perlakuan Mas Tresno begitu selama ini. Untung saja aku jumpa dengan Pak Tohir, jadi bisa lolos darinya. Aku yakin sedikit banyak informasi tentang Mas Tresno barusan dari Pak Tohir adalah benar. Sebab, Pak Tohir sudah lama menjadi tetangga Mas Tresno. Aku saja yang tertipu oleh kebaikan-kebaikan Mas Tresno.
***
Pagi ini aku harus hati-hati melewati rumah Mas Tresno. Trauma. Seperti biasa aku ke rumah sakit menggunakan ojek online. Tak ada jalan lagi selain harus melewati rumah Mas Tresno untuk sampai ke rumah sakit. Akan tetapi, saat melewati rumahnya pemandangan tak biasanya di depan rumah itu. Mas Tresno tampak dipaksa keluar rumah oleh warga sekitar. Aku hanya bisa menyaksikannya sekilas dari motor. Mungkin, laporan dari Pak Tohir sudah sampai ke Pak RT sampai-sampai warga juga harus turun tangan mengusir dia dari daerah ini. Kali ini aku bisa bernapas lega.
Di tengah perjalanan ke rumah sakit, ponselku bergetar terus menerus. Awalnya aku abaikan. Akhirnya, aku meminta abang ojeknya untuk berhenti sebentar untuk mengangkat telepon. Di layar ponselku tertera nama Mas Tejo.
"Assalamualaikum. Halo, ada apa, Mas?"
"Waalaikumussalam. Aisyah, Yati." Suara Mas Tejo kali ini aneh.
"Aisyah kritis. Kamu segera ke sini."
"Iya, Mas. Ini di tengah jalan ke sana." Aku pun menutup telepon sepihak.
"Ayok, bang cepat kita lanjut lagi ke rumah sakit." Secepat kilat aku segera naik kembali ke motor abang ojek.
Kecepatan motor bang ojek pun kian meninggi sesuai instruksiku. Hatiku tak karuan. Dunia seperti runtuh. Senyuman Aisyah tiba-tiba membayangiku, berdesakan di otakku. Tak terasa pipiku basah. Air mata deras menganak sungai.
"Asiyah!" jeritku dalam hati.
Setelah sampai, aku lari menuju ruang ICU. Aku dapati Mas Tejo sedang swndiri di luar ruangan itu. Dia menunduk, lesu.
"Mas." Aku pun terduduk lemah di sampingnya.
"Aisyah sudah tak sanggup lagi, Yati," ungkapnya setelah menatapku.
"Apa? Maksudnya?" Aku masih belum percaya ini. Ya, Allah.
"Aisyah sudah meninggalkan kita. Barusan." Tangis Mas Tejo semakin deras. Pun aku.
Masih tak percaya, aku mengintip ruangan Aisyah dari kaca yang ada di pintunya. Sekujur tubuh itu sudah ditutupi oleh kain kafan. Aku terjatuh di depan pintu itu.
"Kita harus kuat, Yati. Demi kebahagiaan Aisyah di sana." Mas Tejo mendekatiku, lalu memapaku untuk duduk kembali di kursi.
***
"Kamu wanita kuat, Cantik. Aku yakin itu. Ikhlaskan Aisyah, ya. " Mas Walid menatapku penuh makna. Dia rela kembali dari luar kota demi menghadiri pemakaman Aisyah dan tentunya untuk menghiburku.
"Terima kasih, Mas. Kerjaanmu bagaimana?" Aku menatap wajah Mas Walid.
"Sudah enggak usah dipikirkan Kerjaanku banyak yang menghendel. Yang penting calon istriku ini ceria kembali," ucapnya sembari hendak mencolek hidungku. Namun, tidak kena karena aku menghindar lebih dulu. Padahal hidungnya lebih menggemaskan. Mancung. Daripada hidungku, pesek.
Setelah semua pelayat pulang, tinggal aku, Mas Walid dan Mas Tejo.
Baca juga:Â Wanita Malam dari Desa (Bab 10)
"Yati, aku rela kamu menikah lagi. Yang penting kamu bahagia. Maafkan aku selama ini yang tak bisa membahagiakanmu," ucap Mas Tejo.
"Jaga dia, ya, Bro," sambungnya seraya menepuk pelan pundak Mas Walid, lantas berlalu menyisakanku dan Mas Walid.
"Siap, Mas. Jangan khawatir." Nada Mas Walid sedikit tinggi supaya Mas Tejo yang sudah jalan lebih dahulu mendengarnya.
Aisyah kami pulang dulu. Ibu doakan kamu bahagia di sana. Semoga kelak kita bertemu di surga. Aamiin.
Aku dan Mas Walid pun meninggalkan area pemakaman beriringan. Tiba-tiba sandal yang kupakai putus. Sial.
"Mas, sandalku putus!" pekikku saat Mas Walid sudah jauh di depanku.
Mas Walid pun balik badan, lalu menghampiriku. Sandalnya dicopot seperti waktu itu. Dia berjalan tanpa sandal karena sandalnya diberikan kepadaku.
"Kamu itu cantik-cantik, tapi tukang menghabiskan sandal, ya." Kami berdua saling lempar senyuman.
***
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com/fractals88
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H