"Iya, emangnya siapa dia Mas?"
"Dia itu juragan karpet, loh. Banyak cabang toko karpetnya. Tapi, hidupnya sederhana. Lihat makannya saja di warung saya yang kecil begini. Padahal, makan di restoran tiap hari pun sanggup dia."
Memang Mas Tresno ini punya banyak informasi tentang pelanggan-pelanggan tetapnya. Mungkin ini salah satu cara pendekatan dengan pelanggannya supaya nyaman di warung ini. Tak lama Mas Walid mengajakku keluar sebentar lagi setelah membayar makanannya.
"Ada apa lagi, Mas? Kan, sudah saya bilang. Saya itu janda dan punya anak." Aku menegaskan sekali lagi. Mana tahu Mas Walid lupa tentang keadaanku kemarin.
"Aku tak peduli."
Seketika hatiku menghangat. Aku pun tak sadar menarik ujung garis mulutku. Namun, aku tersadar kala Mas Walid berdehem keras. Aku semakin malu. Kualihkan wajahku supaya Mas Walid tak memandang wajahku yang semakin malu.
"Kamu juga suka denganku, kan?"
Aku kaget, lalu memandang wajah Mas Walid kembali. "Apa?"
Mas Walid tergelak-gelak melihat ekspresiku. "Aku anggap jawabannya 'iya'."
"Tapi, Mas ...."
Belum sampai aku menyelesaikan ucapan, Mas Walid berlalu berikut dengan senyuman menangnya. Aku kaku, terpaku. Untuk beberapa detik jantungku serasa berhenti. Aku menatap punggung Mas Walid hingga menghilang dari pandanganku.