Aku terbangun kala sinar matahari menerobos melalui jendela kaca kamar ini. Cuaca hari ini cerah. Memang akhir-akhir ini cuaca sering ekstrem. Pagi sampai siang panas sekali, tiba-tiba sore hujan lebat seperti kemarin. Di kamar yang serba putih ini kakiku sudah mulai sehat. Semoga hari ini sudah boleh pulang. Lebih cepat pulang lebih cepat bisa bertemu Aisyah bukan? Tapi Mas Tejo selalu mengundur-undur. Aku tak habis pikir dengan pria itu. Tega sekali dia memisahkan ibu dengan anak kandungnya sendiri.
Suara dering ponselku sukses membuyarkan lamunanku. Kemarin memang Mas Tejo selalu menelepon, tetapi tak kuhiraukan. Kini nama Pak Tohir yang muncul di ponselku.
"Iya, Pak. Ada apa?" tanyaku setelah salam terlebih dahulu.
"Kamu di mana? Tejo menelepon kenapa enggak diangkat? Kamu lupa ada janji?"
Gendang telingaku seakan pecah mendengar suara keras dari ujung telepon. Aku baru ingat. Aku harus mengenakan baju hadiah Pak Tejo untuk bertemu seseorang. Dasar Tejo. Tega banget. Sudah memisahkan ibu dengan anak. Kini mantan istrinya dijual.
"Kemarin saya kecelakaan, Pak. Maaf. Sekarang saya di rumah sakit. Tapi, sudah mendingan."
"Apa? Kamu tidak apa-apa, kan? Apanya yang sakit? Di rumah sakit mana dirawatnya?"
"Alhamdulillah sekarang sudah mendingan. Kaki saja, sih, yang sakit. Nanti juga pulang. Ya, sudah saya tutup dulu, ya, Pak. Dadah."
Aku memutus sambungan telepon sepihak. Tampaknya di luar sedang ada ribut-ribut. Entah apa? Penasaran. Pelan-pelan aku menuju pintu dan membuka sedikit. Di sana terdapat Mas Walid dengan seseorang wanita tua yang sepertinya itu ibunya.
"Mana dia wanita itu? Gara-gara dia pesanan sahabatku telat. Mana dia?" Wanita itu berteriak.
"Mi. Sudahlah tenang dulu. Kan, sudah kubilang yang salah aku. Jangan salahkan orang lain gara-gara kelalaianku."
Mas Walid tampak menghadangi wanita itu supaya tak mendatangi ruanganku. Berarti wanita yang dimaksud adalah aku. Bagaimana ini? Atau?
***
Syukurlah sudah sampai di indekos. Aku memilih untuk pergi, melarikan diri dari rumah sakit. Â Mungkin aku hanya menjadi wanita pembawa sial bagi Mas Walid. Ingat. Ingat tujuanmu ke sini adalah Aisyah, Yati. Aku bertempur sendiri dengan hati dan logika. Aku bergegas. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di warung Mas Tresno. Selepas mandi dan siap-siap, aku keluar dari kamar. Ternyata di depan pintu kamarku sudah berdiri Mas Tejo dan Pak Tohir.
"Kamu mau ke mana lagi, Yati?" tanya Mas Tejo dengan mata memelotot.
"Kamu sudah sehat, Yati?"
"Sudah, Pak. Ada perlu keluar. Nanti malam insyaAllah saya tidak lupa, kok."
"Baiklah kalau begitu. Silakan." Pak Tohir memberi jalan untukku berikut dengan senyum dan kedipan matanya.
"Tapi, Pak ...." Mas Tejo seperti tak setuju kalau aku pergi. Akan tetapi, dia bisa apa. Sepertinya dia hanya lelaki pesuruh Pak Tohir. Saat Pak Tohir bilang A bagaimana pun dia tak ada kekuasaan untuk mengubahnya.
Aku hanya perlu berjalan terus, mencari peruntungan di kota. Semoga saja Mas Tejo secepatnya mempertemukanku dengan Aisyah. Kali ini aku harus bekerja dulu. Sampai di warung, Mas Tresno sedang membuka warungnya. Aku pun segera membantunya, lantas mempersiapkan semua bahan untuk menu di warung. Menu di warung Mas Tresno tak banyak ada nasi goreng, gorengan, mie goreng, mie aceh m, teh es, dan es jeruk manis.
"Yati." Dari luar warung pandanganku menangkap sosok Mas Walid di sana.
"Mas Walid di sini?" Aku tak percaya bertemu Mas Walid di warung Mas Tresno. Aku mendekati Mas Walid.
"Boleh ngobrol sebentar?"
"Boleh. Sebentar saya bilang dulu, ya." Aku kembali masuk, sebagai karyawan aku berkewajiban izin lebih dahulu jika berkaitan dengan masalah pribadi. Mas Tresno mengizinkan.
Mas Walid mengajakku berjalan sedikit menjauh dari warung. Setelah memastikan sepi, Mas Walid menghela napas panjang.
"Kamu mendengar ibuku saat di rumah sakit, ya?"
"Yang mana, Mas?"
"Yang beliau marah-marah, lalu kamu kabur, kan?" Wajah tampan Mas Walid ditekuk. Seperti menjadi tersangka saja.
"Enggak pa-pa, kok, Mas. Aku hanya tak mau merepotkan orang lain. Maaf ya, Mas aku harus segera kerja lagi. Kalau tidak ada yang mau dibicarakan saya pamit." Aku tahu diri, berusaha menahan rasa yang ada di hati untuk Mas Walid. Tak mungkin Mas Walid membalas rasa ini. Menurutku lebih baik segera menghindar daripada nantinya membekas kecewa oleh penolakan.
"Tunggu! Aku menyuruhmu di rumah sakit bukan hanya rasa bersalahku. Tapi ...."
Aku yang sudah setengah berjalan pun balik badan. "Tapi apa, Mas?"
"Aku ... aku suka kamu." Tatapannya tajam. Wajahnya penuh harap. Sebenarnya ini adalah titik terang bagiku. Namun, aku harus fokus dengan Aisyah dulu.
"Tapi saya janda, Mas. Saya punya anak."
"Boleh saya pinjam ponselnya?" Aku tak tahu untuk apa, tetapi ponsel yang ada di tanganku akhirnya pindah tangan juga.
"Oke. Ini ponselnya. Itu nomor saya. Nanti saya telepon lagi. Sekarang saya harus pergi dahulu."
Aku pun terpaku, melihat punggung Mas Walid menjauh. Aku melihat layar ponselku ada jejak panggilan keluar dengan nama "Walid Ganteng". Kalau begitu kenapa dia langsung kabur saat aku bilang 'aku seorang janda yang beranak'? Ah, sudahlah itu masalahnya. Jangan sampai terlalu berharap, Wahai hatiku.
***
"Kamu sudah siap manis?" Â Aku tak bisa mengelak lagi untuk malam ini, demi anakku.
"Maaf, Pak saya tidak biasa pakai baju kurang bahan. Jadi, saya pakai baju saya sendiri saja." Baru saja tadi aku memeriksa baju hadiah dari Pak Tohir, ternyata tak cocok denganku.
"Tidak apa-apa. Kamu nanti hanya menemani saya karaoke sebagai latihan. Besok-besok kalau kamu kerjanya rajin selain kamar kos yang gratis, kamu bisa dapat duit banyak. Ingat duit banyak." Pak Tohir sedikit mendekat dengan senyuman penuh arti.
"Maaf, saya hanya ingin segera bertemu dengan anak saya. Kata Mas Tejo setelah ini saya bisa bertemu dengan anak saya."
Pak Tohir kembali menarik diri, lalu berdecak.
"Kamu ini tidak ada rasa syukurnya, ya."
Setelah percakapan itu tak ada lagi yang bersuara sampai mobil yang kami tumpangi berhenti di depan ruko tinggi. Tampak jelas betul wajah amarah Pak Tohir. Aku hanya mengekor Pak Tohir. Dia masuk ke ruko serba hitam itu. Ngeri banget, sih. Kenapa harus hitam-hitam. Sama seperti kamar Pak Tohir.
Pemandangan wanita lelaki bercumbu di setiap lorong. Wanita dengan baju minim. Tepat sekali seperti hadiah dari Pak Tohir yang diberikan padaku. Sebenarnya jijik aku melihat kondisi ini. Namun, aku harus mengikuti Mas Tejo untuk menemani Pak Tohir ke sini supaya aku cepat bertemu dengan Aisyah.
Pak Tohir membuka salah pintu ruangan yang terletak paling pojok lorong ini. Ada beberapa lelaki dan wanita di sana. Lampu yang temaram tak begitu jelas untuk memindai wajah mereka.
"Yati."
***
Terima kasih sudah mampir, Teman-Teman. Oh, ya mampir juga ke youtubku, ya. klik di bawah ini.
Karya: Zahra Wardah
Ilustrasi: pixabay.com
Source: coretanzahrawardah.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H