"Boleh saya pinjam ponselnya?" Aku tak tahu untuk apa, tetapi ponsel yang ada di tanganku akhirnya pindah tangan juga.
"Oke. Ini ponselnya. Itu nomor saya. Nanti saya telepon lagi. Sekarang saya harus pergi dahulu."
Aku pun terpaku, melihat punggung Mas Walid menjauh. Aku melihat layar ponselku ada jejak panggilan keluar dengan nama "Walid Ganteng". Kalau begitu kenapa dia langsung kabur saat aku bilang 'aku seorang janda yang beranak'? Ah, sudahlah itu masalahnya. Jangan sampai terlalu berharap, Wahai hatiku.
***
"Kamu sudah siap manis?" Â Aku tak bisa mengelak lagi untuk malam ini, demi anakku.
"Maaf, Pak saya tidak biasa pakai baju kurang bahan. Jadi, saya pakai baju saya sendiri saja." Baru saja tadi aku memeriksa baju hadiah dari Pak Tohir, ternyata tak cocok denganku.
"Tidak apa-apa. Kamu nanti hanya menemani saya karaoke sebagai latihan. Besok-besok kalau kamu kerjanya rajin selain kamar kos yang gratis, kamu bisa dapat duit banyak. Ingat duit banyak." Pak Tohir sedikit mendekat dengan senyuman penuh arti.
"Maaf, saya hanya ingin segera bertemu dengan anak saya. Kata Mas Tejo setelah ini saya bisa bertemu dengan anak saya."
Pak Tohir kembali menarik diri, lalu berdecak.
"Kamu ini tidak ada rasa syukurnya, ya."
Setelah percakapan itu tak ada lagi yang bersuara sampai mobil yang kami tumpangi berhenti di depan ruko tinggi. Tampak jelas betul wajah amarah Pak Tohir. Aku hanya mengekor Pak Tohir. Dia masuk ke ruko serba hitam itu. Ngeri banget, sih. Kenapa harus hitam-hitam. Sama seperti kamar Pak Tohir.
Pemandangan wanita lelaki bercumbu di setiap lorong. Wanita dengan baju minim. Tepat sekali seperti hadiah dari Pak Tohir yang diberikan padaku. Sebenarnya jijik aku melihat kondisi ini. Namun, aku harus mengikuti Mas Tejo untuk menemani Pak Tohir ke sini supaya aku cepat bertemu dengan Aisyah.
Pak Tohir membuka salah pintu ruangan yang terletak paling pojok lorong ini. Ada beberapa lelaki dan wanita di sana. Lampu yang temaram tak begitu jelas untuk memindai wajah mereka.
"Yati."
***