Semua teman sekelasku datang ke sekolah bersama dengan kedua orang tua mereka. Sementara aku, pelan-pelan memapah Mak. Beberapa hari yang lalu Mak menjadi korban tabrak lari, hingga membuat kaki beliau tak normal kembali. Tongkat menjadi teman beliau. Pengumuman siswa teladan pun diumumkan oleh Pak Mahmud, kepada sekolahku. Ternyata di antara banyak nama anak yang bersekolah di sini, namaku yang disebut oleh Pak Mahmud.
Sungguh terharu dan tak kuduga. Aku anak kolot dan bodoh mampu menyandang siswa teladan di sekolah ini. Setelah aku maju ke depan, Pak Mahmud memberikan hadiah berupa uang tunai sebesar dua juta rupiah. MasyaAllah.
Tanganku bergetar melihat amplop putih yang diberikan Pak Mahmud barusan. Seketika bayangan Mak langsung muncul di kepalaku. Usai acara sekolah, aku menghampiri Mak yang sedang duduk di teras.
"Mak, uang hadiah ini buat kurban, Mak, ya. Ditambah dengan tabunganku. InsyaAllah bisa kebeli satu kambing," ucapku seraya menyuguhkan senyum termanis untuk perempuan yang telah rela berkurban antara hidup dan mati atas kelahiranku ke dunia ini.
Mata Mak berkaca-kaca. Mulutnya seakan ingin berkata, tetapi tak sanggup. Beliau segera memelukku.
"Mak bangga kepadamu, Gi. Tapi, uang itu untuk keperluanmu saja. Lagian kamu, kan, masu masuk SMP", balas Mak setelah mengurai pelukannya.
"Enggak, Mak. Aku sudah berniat dari dulu menabung buat berkurban Mak nanti."
Selepas melobi beberapa saat, Mak pun mengikuti saranku. Akhirnya bulan depan Mak bisa berkurban. Setidaknya sebagai anak, aku bisa memberikan sedikit baktiku kepada Mak.
Hari-hari Mak menjadi sangat berbeda dari biasanya setelah satu kambing datang ke rumah kami. Senyum beliau selalu merekah bagus sekali. Tampak jelas semangat hidupnya tumbuh subur. Termasuk semangat untuk latihan berjalan sendiri.
"Gi, Mak mau ke warung bentar, ya. Mau beli sabun colek."
"Biar Sugi saja, Mak. Mak di rumah," timpalku.
"Enggak usah. Kamu, kan, sudah capek tadi beberes rumah Pak Hardi. Mak, sudah sehat, kok. Tenang saja. Lagian enggak terlalu jauh. Sekalian Mak belajar jalan juga."
Memang selama kaki Mak sakit, akulah yang menggantikan Mak bekerja paruh waktu beberes di rumah tetangga untuk hidup kami. Aku sangat senang melakukannya.