"Baiklah, kalau begitu. Hati-hati, Mak." Nadaku sedikit meninggi karena Mak sudah berlalu agak jauh dariku. Beliau pun hanya menggoyangkan telapak tangannya sambil tersenyum.
***
"Gi! Sugi! Makmu jatuh di jalan tadi!" Teriak Pak Hardi dan dua orang bapak-bapak seraya membopong Mak masuk ke rumah.
"Ya Allah." Aku melihat kepala Mak sudah bersimbah darah. Â Lantas, aku lekas menolong untuk meletakkan Mak di atas kasur.
"Ikhlaskan, Gi. Makmu sudah kembali kepada Allah. Seperti beliau gegar otak. Kami telat menolongnya," ucap Pak Hardi dengan menepuk pelan pundakku.
Tubuhku lemas. Tiba-tiba semua gelap. Aku pingsan. Untungnya aku sadar sebelum Mak dikebumikan. Tangisku pecah saat jenazah Mak hendak dibawa ke pemakaman. Kenapa waktu begitu cepat? Senyum Mak tadi masih membekas di ingatanku. Mak bukan hanya pergi membeli sabun colek, melainkan pergi selamanya. Kutatap lekat wajah teduh Mak. Beliau seperti tidur pulas dengan tersenyum tenang.
Baiklah sesuai saran Pak Hardi, aku telah mengikhlaskan Mak. Setelah kepergian Mak, aku menyibukkan diri mengurus kambing yang akan kukurbankan untuk Mak bulan depan.
"Boleh juga kamu berkurban atas nama makmu. Meski beliau sudah meninggal, Gi." Itu jawaban dari Ustaz Zikri setelah aku bertanya hukum berkurban untuk almarhum Mak.
Tepat hari ini. Hari Raya Idul Adha. Niatku akhirnya terkabul. Berkurban untuk Almarhum Mak, meski beliau sudah tak ada lagi di dunia ini.
"Mak! Aku kangen," bisikku dalam hati saat melihat kambing kurbanku mulai di potong Ustaz Zikri.
***
Halo, Teman-Teman. Terima kasih sudah menikmati karya saya. Jangan lupa share, ya. Semoga harimu menyenangkan.
Ilustrasi: pixabay.com
Karya: Zahra Wardah
Source: coretanzahrawardah.blogspot.com