"Ya, sudah aku ke kamar dulu, Mas. Jangan lupa besok pertemukan aku dengan Aisyah," sambungku. Lantas, aku meninggalkan mantan suamiku itu. Langkah kakiku percepat. Semakin memasuki lorong menuju kamar 222, rasanya semakin ngeri saja. Di sudut lorong dengan lampu yang temaram tampak dua manusia beda jenis sedang bercumbu mesra tanpa malu.
Sedikit lega rasanya setelah masuk ke kamar indekos ini. Pandangan tak senonoh tak ada lagi berkeliaran di hadapan. Kusandarkan sejenak tubuh ini di sudut ranjang kecil untuk kasur single. Kemudian, lekas kubuka nasi goreng yang barusan aku beli tadi. Ternyata di dalam plastik bungkus nasi goreng terdapat secarik kertas.
"Apa ini?"
Aku mengambil kertas putih itu. Penasaran. Kubaca pelan-pelan isinya terdapat beberapa nomor berderet dengan di bawahnya tertulis, "Kalau butuh bantuan jangan sungkan hubungi nomor saya, Mbak. Dari Tresno Ganteng".
Entah kenapa tak sadar kedua sudut bibir ini tertarik simetris ke atas. Hatiku menghangat. Akan tetapi, setelah ingat bahwa sekarang berada di perkotaan yang aku sendiri belum tahu bagaimana sifat orang-orang di sini. Senyum simetris segera sirna. Untuk jaga-jaga nomor itu aku simpan di ponsel. Lantas, lekas kuhabiskan nasi goreng buatan Mas Tresno tadi.
***
"Mas, di mana Aisyah?"
Aku mengikuti langkah cepat Mas Tejo. Sore ini aku berjanji bertemu di sebuah taman tak jauh dari area indekos. Tak sabar aku ingin segera bertemu putri semata wayangku.
"Kamu sabar saja. Nanti aku bawa Aisyah bertemu kamu."
"Aku sudah cukup sabar, Mas. Semenjak Aisyah kamu bawa kabur ke kota sampai sekarang sudah sebulan aku belum bertemu dengan Aisyah."
Aku menggoyang-goyangkan tubuh kurus Mas Tejo setelah dia menghentikan langkah.
"Kamu di sini sudah dikasih kamar cuma-cuma oleh Bos Tohir. Setidaknya kamu ikuti dulu perintahnya. Nanti malam jangan lupa jam delapan siap-siap. Gunakan baju dari Bos Tohir. Jangan sampai mengecewakan aku. Kalau kamu macam-macam, aku pastikan kamu tak bisa lagi bertemu Aisyah."