"Saya yang seharusnya minta maaf. Mbak enggak pa-pa?"
Lelaki itu tampak khawatir. Jelas aku melihat raut wajahnya. Tampan sekali. Hidungnya mancung. Kulit putih. Ya, Allah sungguh indah karyamu satu ini.
"Mbaknya enggak pa-pa?"
"Eh, iya enggak pa-pa." Dengan kaki sedikit sakit, aku memaksakan diri untuk berdiri. Lantas, berlalu meninggalkan lelaki ganteng tadi.
"Hati-hati, Mbak!"
Aku mendengar suaranya sedikit teriak mungkin supaya aku mendengarnya. Sebab, aku sudah menjauh darinya. Aku hanya berbalik sebentar, lalu mengangguk pelan seraya senyum simpul sebelum melanjutkan perjalanan.
"Sudah ganteng, perhatian lagi. Beda dengan Mas Tejo. Untungnya aku sudah cerai dengannya." Aku bermonolog di tengah jalan. Kalau ada orang yang tahu pasti aku dikira orang gila. Ngomong sendirian sambil jalan kaki.
***
Berbeda dengan suasana saat aku keluar tadi. Indekos milik Pak Tohir, kini semakin ramai. Lalu lalang perempuan berbusana minim dan sepertinya para lelaki hidung belang. Aku terpaku sebentar melihat kondisi tersebut dari gerbang indekos. Sudah benarkah aku tinggal di sini? Apa aku kabur saja, kemudian diam-diam membuntuti Mas Tejo? Sesekali pasti dia pergi ke tempat Aisyah berada.
"Ngapain melamun di sini?"
Suara Mas Tejo, membuyarkan anganku. Pertanyaan-pertanyaan yang berjejal di otak segera kutepis.
"Eh, sejak kapan Mas Tejo di sini?" Aku kikuk setelah sadar Mas Tejo tiba-tiba di hadapanku.