Bab 2: Mas Walid
"Dia kan muncikari. Hati-hati saja Mbak kalau," bisik Mas Tresno di dekat telingaku.
"Muncikari itu apa, ya, Mas?" tanyaku polos.
"Muncikari itu germo. Kebanyakan yang kos di sana, ya wanita-wanita malamnya."
Panjang lebar penjelasan Mas Tresno sukses membuatku termangu. Otakku memutar memori tadi sore kala pertama kali bertemu Mas Tejo. Satu kalimat Mas Tejo yang tiba-tiba menyembul di pikiran 'uang di depan mata'. Aku tersadar bahwa aku hendak dijual olehnya. Bagaimana ini? Sejak kecil aku diajarkan oleh almarhum Bapak bahwa perbuatan mendekati zina itu dosa besar, apalagi zina itu sendiri.
"Mbak! Mbak!" Mas Tresno menggoyangkan tangannya di depan wajahku.
"Oh, ya, Mas. Ada apa?" Aku terkesiap, canggung.
"Ini pesanannya sudah selesai."
Mas Tresno memberikan satu plastik yang berisi pesananku setelah aku memberikan uang sepuluh ribu satu lembar dan dua ribu selembar.
Aku segera pamit. Baru beberapa langkah dari warung makan, aku tertabrak.
"Maaf, saya tidak fokus tadi jalannya," ucapku sembari meringis kesakitan.