Mohon tunggu...
Zahid Paningrome
Zahid Paningrome Mohon Tunggu... -

Creative Writer zahidpaningrome.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The President

29 Agustus 2016   10:48 Diperbarui: 29 Agustus 2016   11:09 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sepuluh menit lagi, Presiden Irak akan sampai pak. Mohon Pak Presiden bisa mempersiapkan diri untuk kedatangannya” Ucap Elina. Kedatangan Presiden Irak tidak dikawal oleh tim pengawal Presiden seperti kebanyakan tamu kenegaraan yang lain. Persetujuan antara Pak Presiden dan Presiden Irak untuk tidak dikawal, untuk menghindari pemberitaan dari media. Belum diketahui jelas apa maksud kedatangan Presiden Irak. Mungkin hanya untuk bersilaturahim.

Kurang dari lima menit Pak Presiden sudah berganti setelan jas hitam dengan dasi merah gelap. Memang tidak butuh waktu lama untuk Presiden berganti pakaian. Tim wadrobe kepresidenan sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Peci hitam dengan lambang negara di sisi kanannya melengkapi setelan jas yang nampak sedikit kebesaran di tubuh Pak Presiden. Mungkin karena Pak Presiden kurus. Sepatu hitam kempling, hampir bisa digunakan untuk berkaca. Lencana Presiden di telinga Jas dan sapu tangan yang berbentuk segitiga menghiasi kantung jas Presiden. “Lima Menit lagi untuk kedatangan Presiden Irak” Ucap Elina.

“Semua bersiap, Presiden Irak memasuki gerbang Istana. Standby” Seru Elina kepada pengawal lain melalui handie talkie. “Mari Pak Presiden” Ucap, Elina dengan tangan yang mempersilahkan Pak Presiden. Standard protokoler. Membawa Presiden menuju pintu utama untuk menyambut tamu kenegaraan. Elina berdiri di belakang Presiden dan Istri, juga menteri dalam negeri. Mobil yang menjemput Presiden Irak memasuki halaman lobby istana, hingga benar-benar berhenti, salah satu pengawal membukakan pintu. Pak Presiden menyambutnya dengan cipika-cipiki, formalitas yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh Presiden, terlebih Presiden berjenis kelamin laki-laki. Elina melihatnya risih.

“Selamat malam, Pak Presiden tampak cerah sekali,” Presiden Irak menyalami pak Presiden. Lumaya lama Pak Presiden bercakap-cakap dalam posisi saling bersalaman. Lalu menyalami Ibu Negara yang berada persis di samping Pak Presiden. “Gimana sehat, bu? Belum bosan menemani presiden?” tawa kecil keluar dari bibir ibu negara dan pak presiden. “Ah tidak, saya selalu setia mengarahkan bapak agar tidak terjerumus,” ujar ibu negara. Setelah menyalami Pak Presiden dan Ibu Negara. Presiden Irak menyalami Elina yang berada di belakang Ibu Negara. “Ah, Elina. Wakil Presiden baru. Orang paling beruntung. Hanya kamu Wakil Presiden yang dulunya adalah pengawal presiden, Hebat Elina” Presiden Irak memegang pundak Elina. “Terimakasih, Pak. Saya merasa terhormat menjadi Wakil Presiden baru,” Elina dengan kaku menjawab.

Jiwa Elina masih seperti seorang pengawal presiden. Sekalipun dia adalah Wakil Presiden di periode kedua masa kepemimpinan Pak Presiden. Tapi, terkadang Elina juga risih ketika Presiden masih memperlakukan dirinya seperti pengawal presiden. Rasanya Elina ingin menegur. Tapi, keinginannya menegur selalu saja kandas. Elina lebih ingin menjaga kondisi baik dengan Pak Presiden. Baginya stabilitas politik adalah salah satu hal yang bisa membuat suatu negara menjadi negara yang diinginkan banyak penduduknya. Ekonomi, pendidikan dan harga-harga yang murah adalah keputusan politik. Jika stabilitas politik baik semuanya akan terpenuhi sesuai keinginan. Sebaliknya, jika politik tidak stabil akan banyak tawar-menawar di elit politik negeri ini. Lalu terjadilah suap-menyuap dan korupsi.

“Mari kita ke ruang tengah” Ajak Pak Presiden. Ruang tengah adalah ruang yang biasanya dipakai untuk open house. Masyarakat bisa bertemu presiden setiap malam Jumat, menyampaikan aspirasinya atau sekedar foto bersama Pak Presiden. Ruangan dengan foto mantan presiden di dinding-dinding penyangga. “Elina, tolong panggilkan Pak Budi,” Suruh pak presiden, tanpa melihat bahwa Elina adalah Wakilnya. Pak Budi adalah kepala dapur Istana Negara. Juru masak yang selalu menyediakan makanan bagi para penghuni Istana dan tamu-tamu kenegaraan. Juru masak yang terkenal pintar memasak masakan khas daerah. “Siap, Pak Presiden” Jawab Elina dengan menundukkan kepala.

“Jadi bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar basa-basi yang tidak menarik.

Elina hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan yang terasa masih sangat lama untuk sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina menatap pak presiden sembari tersenyum, hal yang sama dilakukan Elina kepada Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina merasa tidak ada bedanya antara menjadi pengawal Presiden dan Wakil Presiden, diperlakukan Pak Presiden seperti pengawal Presiden, Elina merasa ketidakadilan yang dilakukan Pak Presiden terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting bagi Elina.

Satu jam jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua Presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina.

“Bagaimana Elina? Kamu setuju?” Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak Presiden?”

“Negara-negara Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh massal, Elina,” Pak Presiden mengambil bungkus rokok dari dalam saku jasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun