Mohon tunggu...
Zahid Zufar At Thaariq
Zahid Zufar At Thaariq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teknolog Pendidikan

SD Laboratorium UM (2005-2011) SMP Negeri 18 Malang (2011-2014) SMA "Islam" Malang (2014-2017) Jurusan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Malang (2017-2021)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Kurikulum Merdeka menuju Kurikulum Adaptif: Mungkinkah?

17 September 2024   22:56 Diperbarui: 17 September 2024   23:31 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya, menurut hemat penulis, inilah yang menyebabkan pendidikan di Indonesia selama ini sulit untuk berkembang. Karena, menurut Sukmadinata (2019) maupun Wahyudin (2020), selama ini kurikulum dikembangkan berdasarkan orientasi kepentingan yang bersifat politis, yang mengakibatkan perubahan kurikulum yang sering terjadi seiring dengan pergantian pemerintahan atau kepentingan tertentu. Hal ini menyebabkan pendidikan kehilangan arah yang konsisten dan berkelanjutan (inkonsistensi). Seharusnya, kurikulum dirancang untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan peserta didik, namun sering kali lebih dipengaruhi oleh kebijakan yang tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pendidikan.

Maka, tepatlah rasanya Kurikulum Merdeka hadir di tengah kepentingan-kepentingan politik yang berkembang melalui Peraturan Mendikbudristek No. 12 Tahun 2024. Karena kurikulum ini berorientasi pada perkembangan peserta didik secara penuh. Terlihat dari pernyataan Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek sebagai berikut.

"Apa itu artinya merdeka belajar? Sekolah, guru dan muridnya punya kebebasan untuk berinovasi, kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif." (Pernyataan Nadiem Makarim dalam Siaran Kabar Siang di TvOne)

Oleh karenanya, perlu untuk mendiskusikan atau membicarakan terkait bagaimana agar pelaksanaan Kurikulum Merdeka ini bisa berlanjut ke depannya. Terlepas dari pro dan kontra yang ada di dalamnya, bila kita bayangkan perubahan kurikulum kembali rasanya akan sangat disayangkan karena bijinya telah dibenih hingga menjadi akar. Pertanyaannya "bagaimana agar akar itu bertumbuh menjadi batang, sehingga muaranya menjadi pohon yang utuh?".

Mungkinkah Menuju Kurikulum Adaptif?

Sebelum lebih lanjut membahas topik ini, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu terkait model-model pengembangan kurikulum. Menurut Toenlioe (2017) setidaknya ada tiga model pengembangan kurikulum, yaitu (1) model atas ke bawah (top-down), (2) model bawah ke atas (bottom-up) dan (3) model campuran. Model top-down menekankan pengembangan kurikulum yang datang dari lapisan birokrasi teratas (dalam hal ini pemerintah). Model bottom-up sebaliknya dari top-down, di mana pengembangan kurikulum datang dari lapisan paling bawah (dalam hal ini guru sebagai praktisi lapangannya). Model campuran adalah sinergi diantara top-down maupun bottom-up.

Jika dianalisis, maka Kurikulum Merdeka cenderung menggunakan model campuran dalam pengembangannya. Pemerintah selaku otoritas teratas memberikan panduan dalam pelaksanaannya kepada guru, sementara guru diberikan wewenang penuh dalam proses pengelolaan belajar-mengajarnya. Tidak seperti kurikulum sebelumnya yang segalanya harus diatur birokrasi teratas. Meskipun penulis menyadari, terkadang dalam praktiknya tidak demikian, karena kebanyakan guru masih harus dikejar secara administratif oleh pengawasnya. Hal ini menciptakan ketegangan antara tujuan ideal Kurikulum Merdeka dengan realitas praktiknya di sekolah.

Maka keberlanjutan dari Kurikulum Merdeka seyogyanya harus berkembang tidak hanya dari pola administrasinya semata, melainkan juga mulai memperhatikan sudut pandang siswa sebagai pelaku belajar utamanya. Penulis sempat menyusun Tesis dengan judul "Karakteristik Siswa dan Guru dalam Pembelajaran Adaptif di SMP Wahid Hasyim" pada akhir tahun 2023 silam (Thaariq, 2023). Melalui Tesis tersebut, penulis menyatakan perlu untuk memperhatikan penerapan pembelajaran adaptif (adaptive learning) secara penuh dari berbagai aspek komponennya, baik desain, strategi, model maupun metode pembelajarannya. Untuk menyusunnya, perlu pemahaman yang kuat yang melandasinya mengenai analisis-analisis pembelajaran yang berorientasi pada kondisi dalam taksonomi variabel yang terdiri dari (1) tujuan dan karakteristik mata pelajaran, (2) kendala dan karakteristik mata pelajaran dan (3) karakteristik siswa (Degeng, 1989; Reigeluth & Merrill, 1979). Oleh Thaariq (2023), "tujuan dan karakteristik mata pelajaran" dan "kendala dan karakteristik mata pelajaran" disebutnya sebagai karakteristik guru.

Secara tinjauan pengertian, kurikulum dan pembelajaran merupakan dua istilah yang berbeda, namun saling terkait satu sama lain. Kurikulum cenderung berbicara mengenai pedoman atau rancangan keseluruhan mengenai apa saja yang diajarkan atau dibelajarkan dalam pembelajaran. Sedangkan pembelajaran berbicara mengenai proses belajar-mengajar, sehingga terdapat interaksi antara guru dengan siswa di dalamnya. Maka menjadi sebuah pertanyaan terkait apakah pembelajaran adaptif bisa menjadi kurikulum adaptif?

Adaptif berarti menyesuaikan diri dengan keadaan. Keadaan itu bisa bermacam-macam konteks, baik lingkungan maupun kondisi zamannya. Oleh karena itu bila dikaitkan kurikulum adaptif sebagai pedoman atau rancangan dalam pembelajaran yang adaptif, maka kurikulum tersebut haruslah mampu beradaptasi dengan sendirinya sesuai dengan perubahan-perubahan, baik lingkungan maupun kondisinya. Dengan demikian, instrumennya pun juga cenderung fleksibel disesuaikan keadaan. Keadaan ini dikaitkan dengan kondisi dalam taksonomi variabel tersebut sebagai instrumen kebutuhan utamanya. Dengan artian, kurikulum ini berkembang bergantung pada hasil analisis karakteristik siswa maupun guru sebagai pelaku pembelajarannya.

Untuk memahaminya, penulis coba analogikan dalam sebuah rekaan. Seorang guru hendak mengajar kepada siswa yang tentunya memiliki karakteristik beragam di dalamnya. Pada umumnya, guru lain memilih mengajar sesuai dengan apa yang dia bisa tanpa menghiraukan keberagaman tersebut. Tapi guru ini cenderung berbeda. Ia mulai meriset dahulu siapa siswanya lalu bagaimana ciri khas yang dimilikinya. Nantinya setelah dianalisis, ia kaitkan dengan kebutuhan mata pelajaran yang diampunya agar model pembelajaran yang dikembangkannya bisa tepat sasaran ke siswanya. Ilustrasi itulah yang disebut sebagai pembelajaran adaptif. Artinya proses pembelajarannya bergantung pada kondisi. Bisa jadi model project-based learning itu adaptif, namun bisa jadi tidak. Kalau tidak, maka perlu mencari model-model yang lain yang lebih tepat. Maka, bila ilustrasi tersebut dibuatkan semacam pedoman atau rancangan pembelajaran secara keseluruhannya disebut sebagai kurikulum adaptif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun