Baik anak maupun guru harus diberikan ruang untuk berkreasi berinovasi bahkan untuk berjuang.
Ruang kelas menjadi panggung dan juga peluang untuk menemukan jati diri setiap orang.
Pada hari ini kita semua bergabung untuk melihat apa yang terjadi kalau murid dan guru diberikan panggung untuk membuktikan bahwa kreativitas dan kolaborasi sama pentingnya dengan berhitung karena ini lah resep yang membuat mimpi setiap anak melambung.
Bapak dan ibu proses transformasi membutuhkan sabar. Hampir lima tahun kami sibuk menanam akar baru sekarang bunga perubahan terlihat mekar di tangan anda semua saya titipkan merdeka belajar."
(Puisi yang disampaikan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan Komisi X DPR saat rapat terakhir sebelum purnatugas yang penulis kutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240911180545-32-1143525/nadiem-pamit-sambil-baca-puisi-di-dpr-titip-program-merdeka-belajar)
Di atas telah disaksikan sebuah puisi yang dibacakan secara langsung oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) dihadapan Komisi X DPR RI. Puisi tersebut menggambarkan perubahan paradigma belajar-mengajar di bawah kepemimpinannya selama 5 tahun belakangan ini. Kurikulum Merdeka hadir ditengah muatan-muatan atau hiruk pikuk perpolitikan Indonesia yang terjadi 5 tahun akhir-akhir ini. Setidaknya, menurut hemat penulis, Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan pendidikan terbaik yang telah dikeluarkan pemerintah selaku pemberi otoritas atau kewenangan terkait.Â
Hal ini sejalan, jika diasosiasikan dengan teori belajar, dengan konstruktivisme yang menekankan pada pembentukan proses belajar yang bermakna bagi peserta didik sebagai subjek belajar. Degeng (1998) menyatakannya sebagai proses pembelajaran yang bersifat kesemrawutan, di mana siswa sebagai subjek belajar berperan aktif dalam proses belajarnya mereka sendiri dengan guru sebagai fasilitator di dalamnya. Terlepas dari berbagai kontra yang dihasilkan dari berbagai pihak yang bernaung di dalamnya, menjadi sebuah pertanyaan bagi kita secara serius untuk mempertanyakan terkait "Bagaimana Kelanjutan dari Kurikulum Merdeka pasca 5 tahun ini?". Tentunya secara prinsipil, kurikulum yang baik harus berjalan secara berkesinambungan (sustainable) dan memiliki relevansi dengan perkembangan zaman yang dialami oleh peserta didik selaku subjek belajar utamanya.
Awal Mula: Pro dan Kontra
Kurikulum Merdeka secara resmi berlaku pada sekitar Februari 2022, namun proses pengembangannya tidak terlepas dari berbagai untaian perjalanan historis di belakangnya. Perubahan paradigma secara politis ini berawal dari dihapuskannya Ujian Nasional (UN) pada awal 2020 sebagai standar kelulusan sekolah dasar maupun menengah yang telah ditetapkan selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Penghapusan tersebut menuai pro dan kontra di dalamnya. Terutama bagi kaum behavioris, sangat kontra dengan penghapusan UN karena menganggap proses belajar sejatinya hanyalah sebatas mengerjakan soal lalu menilainya. Kemudian setelah penghapusan UN, diikuti juga dengan berbagai program-program berikutnya yang dianggap oleh kaum behavioris sangat memberatkan.
Menurut pandangan penulis, sudah biasa jika dalam perubahan terjadi pro dan kontra di dalamnya. Sejalan dengan pendapat Ibrahim (1988) bahwa dalam perubahan terdapat respon berupa penerimaan atau penolakan. Namun setidaknya perubahan program-program yang terjadi menjelang transisi menuju Kurikulum Merdeka, utamanya penghapusan UN sebagai evaluasi hasil belajar satu-satunya saat itu, telah menyelaraskan dengan harapan banyak ahli pendidikan, terutama ahli teknologi pendidikan, yang telah membicarakan mengenai kekurangan UN sejak lama, baik melalui koran, media elektronik, maupun seminar atau diskusi perkuliahan.Â
Bahkan oleh Toenlioe (2010), disebutkan bahwa UN adalah sistem evaluasi yang tidak pedagogis. Hal ini karena kurikulum sebelumnya cenderung sangat behavioristik, di mana otoritas sepenuhnya distandarisasi oleh pemerintah, terutama dalam penyusunan RPP, Silabus hingga bentuk evaluasinya, sehingga guru tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengatur pembelajarannya di kelas. Maka orientasi sebagai guru kebanyakan hanyalah sebatas menuruti apa maunya kurikulum, bukan tentang bagaimana agar siswa selaku subjek belajar bisa terfasilitasi proses pemaknaan belajarnya. Jelas ini sangat bertentangan dengan konteks pembelajaran abad 21 yang menekankan capaian (1) berpikir kritis, (2) komunikasi, (3) kolaborasi dan (4) kreativitas.