Ini cerita tentang seorang Gus. Asli Gus putra kiai. Bukan Agus, Bagus, atau I Gusti dari Bali.
Beliau sudah beranjak dewasa. Tetapi tidak bisa serta merta meninggalkan hobinya sejak kecil, mancing ikan di kali.
Setelah boyong dari pesantren, berangsur-angsur jadwal pengajian dipasrahkan pada beliau. Ingin menolak, merasa belum pantas, tapi abah-nya bersikeras. Akhirnya, sami'na wa atha'na.
Berat hati dilakukan amanah abah beliau. Ada beban cukup besar harus disandang, sebagai calon kiai, menjaga muru'ah atau kehormatan dan harga diri.
Salah satu yang super berat. Tak melakukan hal yang dianggap tidak perlu oleh abah, mancing ikan.
Lainnya insya Allah bisa. Pacaran bisa dihindari, minuman keras dapat ditolak. Bersarung dan bersongkok, gampang.
Mancing??? Berat.
Sepertinya tak bisa tidak.
Ini hobi saya. Toh sekadar mancing. Bisakah tidak melakukan. Padahal beliau sangat suka.
Syahdan, segala strategi dilakukan. Yang penting bisa mancing. Bagaimana caranya agar abah, umi, dan para santri tidak mengetahui. Termasuk masyarakat sekitar pesantren.