Rumah mereka berhadapan dengan pesantren Mbah Thowi, dimana aku bermukim. Jadi interaksi dengan keluarga tersebut lumayan sering. Apalagi aku sering menonton TV disana.Â
Sore kemarin, aku tidak berjumpa dengan kakak SriUt. Jadi keluhan SriUt membuatku bingung. Sementara SriUt justru menangis, tidak menjelaskan penyebabnya.
Belum sempat aku mengerti masalahnya, empat gadis lain masuk ke ruang kelas. Dua orang menenangkan SriUt, dua lainnya mengeroyokku. Agar aku bersedia mohon maaf kepada kakak SriUt. Omongonku padanya tentang SriUt tidaklah benar.
Empat gadis, yang juga teman SMA-ku adalah, Naning Pujiati, Endang (Kalibaru), Eni Sri Peni, dan Indayani atau DKR (Diah Kartika Reni). Aku agak lupa, seingatku lima/ enam anak.
Mereka akrab. Berangkat dan pulang sekolah sering bersama naik sepeda kayuh. Mungkin ada ikatan persaudaraan hati yang kuat.Â
Diketahui mereka anggota pencak silat PSHT cabang Jajag. Banyak anggota OSIS, Bantara, dan Pecinta Alam (PA) kala itu, tergabung di PSHT. Praktis dalam setiap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, kelihatan semangat dan kompak.
Aku sendiri tidak tergabung di dalamnya. Maklum, aku harus berada di pesantren. Tanggung jawab moral terhadap santri lebih junior, alasan utamaku. Sehari-hari aku ada di pesantren Mbah Thowi.
"Nal, karo konco ojo ngono kuwi. Kowe kudu njaluk sepuro neng mbakke SriUt!" Mereka semakin mendesakku.
"Sek tho Rek. Aku iki bingung, ra ngerti masalahe." Kataku minta penjelasan.
"Halah Nal! Kok sok ora rumongso. Mesakne SriUt. Isin karo mbakke." Mereka berlima bergeming. Tak bersedia menjelaskan duduk permasalahannya.
"Ya Allaahh! Aku ora ngerti tenan." Sambil aku nguyek-nguyek rambutku. Tanda stress akibat mereka tidak bersedia menjelaskan.