Kejadian ini, saat SMA kelas 3. Aku kelas 3IPA-1 SMAN 1 Gambiran, Banyuwangi. Ruang kelas paling ujung barat, deretan kelas paling utara, menghadap ke selatan.
Tiba-tiba, seorang gadis menghampiri aku. Marah-marah,
"Awakmu omong opo neng Mbakku?!" Sri Utami yang tak lain temanku, datang-datang menunjuk diriku. Bersuara tinggi, marah. Seakan tidak terima akan sesuatu.
Aku yang tidak tahu duduk permasalahannya tolah-toleh, kebingungan.
Kebetulan sedang tidak banyak anak di ruang kelas. Maklum jam istirahat. Maklum pula, aku jarang bahkan tidak pernah bawa uang saku.
"Opo tho, Sri. Aku kok gak ngerti maksudmu?" Tanyaku.
"Hallah! Isin aku Nal. Isin! Dikiro arek opo aku. Pokoke aku gak terimo Nal?!" Sri tetap bersuara tinggi. Suaranya mulai serak, tanda sedih, menangis.
"Kapan aku omong-omongan karo Mbakmu?"Â Tanyaku mulai menyelidik.
"Wingi sore. Mbakku ngomong macem-macem." Jawab Sri, tanpa menjelaskan detail, dan semakin kelihatan merah bola matanya. Seakan semakin sedih.
Sri Ut, biasa kami memanggilnya begitu. Berdomisili di rumah neneknya, Mbah Temi. Sekaligus serumah dengan kakak perempuannya.
Rumah mereka berhadapan dengan pesantren Mbah Thowi, dimana aku bermukim. Jadi interaksi dengan keluarga tersebut lumayan sering. Apalagi aku sering menonton TV disana.Â
Sore kemarin, aku tidak berjumpa dengan kakak SriUt. Jadi keluhan SriUt membuatku bingung. Sementara SriUt justru menangis, tidak menjelaskan penyebabnya.
Belum sempat aku mengerti masalahnya, empat gadis lain masuk ke ruang kelas. Dua orang menenangkan SriUt, dua lainnya mengeroyokku. Agar aku bersedia mohon maaf kepada kakak SriUt. Omongonku padanya tentang SriUt tidaklah benar.
Empat gadis, yang juga teman SMA-ku adalah, Naning Pujiati, Endang (Kalibaru), Eni Sri Peni, dan Indayani atau DKR (Diah Kartika Reni). Aku agak lupa, seingatku lima/ enam anak.
Mereka akrab. Berangkat dan pulang sekolah sering bersama naik sepeda kayuh. Mungkin ada ikatan persaudaraan hati yang kuat.Â
Diketahui mereka anggota pencak silat PSHT cabang Jajag. Banyak anggota OSIS, Bantara, dan Pecinta Alam (PA) kala itu, tergabung di PSHT. Praktis dalam setiap kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, kelihatan semangat dan kompak.
Aku sendiri tidak tergabung di dalamnya. Maklum, aku harus berada di pesantren. Tanggung jawab moral terhadap santri lebih junior, alasan utamaku. Sehari-hari aku ada di pesantren Mbah Thowi.
"Nal, karo konco ojo ngono kuwi. Kowe kudu njaluk sepuro neng mbakke SriUt!" Mereka semakin mendesakku.
"Sek tho Rek. Aku iki bingung, ra ngerti masalahe." Kataku minta penjelasan.
"Halah Nal! Kok sok ora rumongso. Mesakne SriUt. Isin karo mbakke." Mereka berlima bergeming. Tak bersedia menjelaskan duduk permasalahannya.
"Ya Allaahh! Aku ora ngerti tenan." Sambil aku nguyek-nguyek rambutku. Tanda stress akibat mereka tidak bersedia menjelaskan.
Di tengah kebingunganku, mereka berlima berdiri. Mengulurkan tangan kanan.
"Selamat ulang tahun Nal." Eee... ternyata hari itu tepat ulang tahunku. Aku dan keluargaku memang tidak terbiasa dengan perayaan ulang tahun. Sehingga sering lupa, dan tidak menyangka surprise mereka.Â
Rasanya ingin marah, tidak jadi. Kuterima uluran tangan mereka berlima. Kuucapkan terima kasih atas perhatian mereka.
Hadiah istimewa, lima butir permen dibungkus rapi berlapis-lapis. Menggunakan kertas sobekan buku tulis. Pada kotak kecil, seperti kotak tempat cincin. Tak akan terlupakan kenangan ini. Semoga kebaikan meliputi kalian berlima. Wabil khusus, untuk Indayani yang telah berpulang. Al Fatihah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H