Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kiai Tempe

26 Juli 2020   21:50 Diperbarui: 26 Juli 2020   22:39 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah berikut nyata. Bisa jadi pada platform ini termasuk fiksi. Tidak jadi soal, ruh-nya yang penting.

Ini, kisahku pribadi dengan seorang kiai. Aku berani menuliskannya, karena beliau telah berpulang. Jika beliau masih sugeng, hakul yakin tidak bersedia kisahnya ditulis. Terutama terkait ubudiyah. Semoga aku tidak didukani di akhirat. Menulis kisah beliau tanpa izin. Hehehe . . . .

Sekitar tahun 1994. Tepatnya aku agak lupa. Semoga para alumni, jika membaca kisah ini, bersedia memberikan koreksi.

Mbah Thowi, begitulah Pak Kiai biasa dipanggil. Semua santri memanggil beliau, dengan Bapak atau Mbah. Sedangkan untuk Bu Kiai, dengan Ibu atau Mbah.

Bagi santri, menyapa atau memanggil dengan sebutan Kiai atau Kiai Muhammad Thonthowi, sebuah pantangan. Sebutan itu, hanya digunakan saat formal pengajian, rapat, atau kegiatan khitobah. Begitu juga dengan Bu Kiai.

Jika ada orang yang memanggil beliau dengan Kiai, menunjukkan baru kenal, kurang akrab, atau tidak sering ke pesantren.

Aku sendiri memanggil beliau, dengan Bapak. Pun memanggil Bu Kiai, dengan Ibu.

Sebelum aku lanjutkan kisahku, kuselipkan doa terbaik untuk beliau berdua. Semoga Bapak dan Ibu ditempatkan pada tempat mulia di sisi Allah SWT, Al Faatihah. Amin.

Bapak dan Ibu, meskipun pengasuh pesantren, beliau berdua pekerja keras. Gonta-ganti pekerjaan dilakukan, salah satunya produksi dan menjual tempe. Bapak yang memproduksi, Ibu yang menjual tempenya.

Tidak selalu berjalan mulus, terkadang tempenya tidak jadi. Lain waktu, tempenya tidak habis terjual. Kalau sudah seperti ini, rezeki santri. Dapat menyicipi jajan dari tempe gagal, "mendol."

Waktu itu putri beliau masih kecil. Tepatnya anak keenam yang hidup. Karena Ibu pernah cerita, beberapa kali mengalami miskram (keguguran). Usia putri beliau, dua atau tiga tahun. Bisa dibayangkan betapa sibuk dan lelahnya pasangan suami istri tersebut.

Pagi buta, Ibu jualan tempe. Hasil jualan dibelikan kacang kedelai. Siang dipilih/ dipisahkan dengan kotoran. Sore, kacang kedelai direndam. Tengah malam, biasanya diatas jam satu dinihari, Bapak mengilas kacang kedelai. Lanjut memberi ragi dan mencetaknya jadi tempe. Sebelum Subuh, tempe yang difermentasi satu hari sebelumnya, diiris. Disiapkan di tobos (keranjang sepeda angin). Siap dijajakan setelah mengaji bakda Subuh. Aktivitas tersebut, dilakukan di sela-sela jadwal pengajian rutin, dan berkebun.

Bapak memiliki jadwal rutin. Bakda Asar dan Subuh, membaca Fathul Qarib dan Tafsir Jalalain. Bakda Zuhur, Hadis Bukhori. Bakda Magrib, tadarus Al Quran. Bakda Isya, Nahwu Jurumiyah. Diatas jam 21:00 WIB, Nahwu Alfiyah Ibnu Malik dan Shorof. Belum jadwal pengajian di luar pesantren.

Jadwal berkebun, setelah sarapan, sekitar pukul 07:15 WIB hingga menjelang Zuhur, pukul 10:45 WIB. Bakda makan siang (setelah mengaji Bukhori) hingga menjelang jemaah Asar, pukul 15:30 WIB. Begitu padatnya jadwal Bapak. Membayangkan beliau, tentu lelah.

Maklum, sesekali tempe gagal karena ilasan kaki Bapak kurang maksimal. Ini pernyataan Ibu, ketika kami bertiga bercakap-cakap. Ibu memang terkadang menggoda Bapak. Begitupun sebaliknya. Aku merasakan betapa mesranya mereka berdua, hingga akhirnya ajal yang memisahkan.

Memperhatikan apa yang dilakukan Bapak, pengurus berinisiatif. Santri dipiket mengisi bak mandi keluarga. Alhamdulillah berhasil, meski kadang-kadang ada yang teledor.

Aku pribadi berniat membantu urusan per-tempe-an. Untuk lebih meringankan beban Bapak dan Ibu.

Sekitar jam 02:00 WIB, diam-diam aku menuju sumur keluarga. Bapak sedang "berjoget". Menginjak-injakkan kaki pada setengah karung kacang kedelai. Tentu basah dan dingin. Aku memberanikan diri, menawarkan tenaga.

"Pak, ngapunten. Kulo rencangi." Aku menyampaikan niatku.

"Direwangi opo Nal?" Bapak balik bertanya.

"Inggih nimbo, nopo ngiles-ngiles." Jawabku.

"Gak usah. Awakmu turu ae. Sesuk tangi isuk neng tegalan." Beliau menolak halus niatku.

"Sak estu Pak. Kulo pingin ngrencangi." Aku berusaha memaksa.

"Gak usah Le. Iki ngono tak gawe tirakat. Ben aku gak turu sore." Bapak menjelaskan alasan sesungguhnya.

Akupun berbalik arah. Di pikiranku bergelayut banyak pertanyaan.

"Tirakat?"

"Ben gak turu sore?"

"Jam 02:00 masih sore?"

Apa ini bagian dari usaha Bapak untuk qiyamul lail.

Beliau pernah bercerita tentang seorang ulama. Demi usaha agar tidak tidur di sepertiga malam terakhir, Sang Ulama menyebar segenggam biji jagung di halaman.

Sambil mencari biji jagung satu persatu, Ulama tersebut melafalkan zikir. Masya Allah, begitu kuat usaha Ulama Salaf mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Semoga kita mendapat berkah mereka, amin. (*)

Catatan: Harapan terbersit, semoga ada hikmah dapat diambil. Jika ada yang salah dengan konten tulisan, mohon pihak keluarga dan alumni memberikan masukan. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun