Pagi buta, Ibu jualan tempe. Hasil jualan dibelikan kacang kedelai. Siang dipilih/ dipisahkan dengan kotoran. Sore, kacang kedelai direndam. Tengah malam, biasanya diatas jam satu dinihari, Bapak mengilas kacang kedelai. Lanjut memberi ragi dan mencetaknya jadi tempe. Sebelum Subuh, tempe yang difermentasi satu hari sebelumnya, diiris. Disiapkan di tobos (keranjang sepeda angin). Siap dijajakan setelah mengaji bakda Subuh. Aktivitas tersebut, dilakukan di sela-sela jadwal pengajian rutin, dan berkebun.
Bapak memiliki jadwal rutin. Bakda Asar dan Subuh, membaca Fathul Qarib dan Tafsir Jalalain. Bakda Zuhur, Hadis Bukhori. Bakda Magrib, tadarus Al Quran. Bakda Isya, Nahwu Jurumiyah. Diatas jam 21:00 WIB, Nahwu Alfiyah Ibnu Malik dan Shorof. Belum jadwal pengajian di luar pesantren.
Jadwal berkebun, setelah sarapan, sekitar pukul 07:15 WIB hingga menjelang Zuhur, pukul 10:45 WIB. Bakda makan siang (setelah mengaji Bukhori) hingga menjelang jemaah Asar, pukul 15:30 WIB. Begitu padatnya jadwal Bapak. Membayangkan beliau, tentu lelah.
Maklum, sesekali tempe gagal karena ilasan kaki Bapak kurang maksimal. Ini pernyataan Ibu, ketika kami bertiga bercakap-cakap. Ibu memang terkadang menggoda Bapak. Begitupun sebaliknya. Aku merasakan betapa mesranya mereka berdua, hingga akhirnya ajal yang memisahkan.
Memperhatikan apa yang dilakukan Bapak, pengurus berinisiatif. Santri dipiket mengisi bak mandi keluarga. Alhamdulillah berhasil, meski kadang-kadang ada yang teledor.
Aku pribadi berniat membantu urusan per-tempe-an. Untuk lebih meringankan beban Bapak dan Ibu.
Sekitar jam 02:00 WIB, diam-diam aku menuju sumur keluarga. Bapak sedang "berjoget". Menginjak-injakkan kaki pada setengah karung kacang kedelai. Tentu basah dan dingin. Aku memberanikan diri, menawarkan tenaga.
"Pak, ngapunten. Kulo rencangi." Aku menyampaikan niatku.
"Direwangi opo Nal?" Bapak balik bertanya.
"Inggih nimbo, nopo ngiles-ngiles." Jawabku.