Mohon tunggu...
Muhammad Asep Zaelani
Muhammad Asep Zaelani Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial Perusahaan, NU dan Gusdurian

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

CSR dan Solusi Permasalahan Listrik Desa

13 Maret 2021   16:22 Diperbarui: 13 Maret 2021   16:27 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran investasi selama ini dianggap sebagai "mantra sakti" yang secara otomatis akan membawa dampak positif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Memang ada banyak kota baru yang lahir karena terdongkrak oleh kehadiran perusahaan. 

Namun tidak jarang kita jumpai daerah yang kaya akan sumber daya alam tapi kondisinya masih cukup memprihatinkan. Untuk sekadar menikmati penerangan listrik saja masyarakat harus bersusah payah mendapatkannya.

Bagi sebagian besar komunitas masyarakat yang hidup di wilayah pedalaman, fasilitas listrik masih menjadi barang yang mewah, langka dan sangat sulit untuk didapatkan. Lokasi desa yang sangat remote area, jumlah penduduk yang sedikit dan berpencar-pencar memang menyulitkan bagi PLN untuk membuka jaringan sampai kesana.

Warga yang mampu bisa membeli panel listrik tenaga surya atau menggunakan genset secara mandiri sebagai sumber penerangan. Itupun hanya bisa mereka nikmati dalam jangka waktu beberapa jam saja. 

Sedangkan warga yang kurang mampu terpaksa harus rela gelap-gelapan setiap malamnya, sambil terus berharap adanya bantuan dari pihak pemerintah atau perusahaan.

Kondisi yang dihadapi oleh masyarakat desa-desa lingkar tambang tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di lingkungan kerja atau tempat tinggal karyawan perusahaan. 

Genset perusahaan bisa beroperasi selama 24 jam. Sehingga suplai listrik akan terus menyala siang dan malam tanpa harus khawatir terjadinya kekurangan pasokan daya.

Situasi kontras seperti inilah yang kadang menjadi pemicu munculnya kecemburuan sosial dari masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Sehingga tak jarang berujung pada terjadinya aksi demonstrasi yang menuntut adanya kepedulian dari perusahaan terhadap permasalahan yang sedang mereka hadapi.

Masyarakat menilai perusahaan telah berlaku tidak adil, mengambil dan mengeruk kekayaan sumber daya alam setempat namun tidak mau peduli dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat. Aksi demonstrasi yang mereka lakukan sejatinya adalah jalan pintas yang dipilih agar bisa segera mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan.

Tentu saja aksi demonstrasi yang terjadi akan berdampak kurang baik terhadap kinerja perusahaan. Pihak manajemen akan disibukkan untuk negosiasi dan menyelesaikan tuntutan dari masyarakat. Bahkan tak jarang operasional perusahaan harus terhenti total dalam jangka waktu beberapa lama sampai adanya kesepakatan antara ke dua belah pihak.

Sikap yang biasa diambil oleh perusahaan tambang dalam menyikapi tuntutan masyarakat tentunya sangat beragam, namun mayoritas biasanya memilih cara-cara instan yang dianggap bisa lansung memadamkan api demonstrasi dan menyelesaikan persoalan saat itu juga. Dengan harapan operasional perusahaan yang sempat terganggu bisa kembali berjalan normal.

Karena tuntutannya soal penerangan, perusahaan akan meresponnya dengan memberikan bantuan dalam bentuk mesin genset. Bahkan ada juga yang plus dengan bantuan solarnya. 

Solusi seperti ini mungkin akan berhasil meredam permasalahan, tapi begitu genset yang diberikan perusahaan mengalami kerusakan atau suplai solar dianggap tidak mencukupi, lagi-lagi perusahaan akan direpotkan dengan tuntutan perbaikan genset atau pembelian tambahan solar. Bantuan semacam ini tetap menyimpan bara konflik yang setiap saat bisa muncul kembali kepermukaan.

Lalu bagaimana kacamata CSR dalam melihat permasalahan listrik yang jadi tuntutan masyarakat desa?

Pertama, perusahaan tidak boleh menutup mata terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat desa. Apalagi dalam regulasi yang ada di Indonesia, setiap perusahaan ekstraktif diwajibkan pemerintah untuk mengalokasikan dana CSR bagi pengembangan masyarakat yang ada di desa lingkar tambang.

Kedua, kepedulian perusahaan terhadap masyarakat seharusnya tidak perlu sampai diminta. Melalui tim CSR, perusahaan bisa lebih pro aktif melibatkan diri dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Dengan begitu, potensi munculnya konflik dan gangguan terhadap operasional perusahaan bisa terdeteksi sejak dini dan bisa langsung diselesaikan.

Ketiga, kepedulian yang diberikan perusahaan harus benar-benar menjadi solusi yang bisa menyentuh akar permasalahan mendasar yang sedang dihadapi oleh masyarakat. 

Pendekatan instan atau bantuan jangka pendek yang bersifat karikatif semata bukan hanya tidak akan menjadi solusi secara jangka panjang, namun justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu adanya ketergantungan yang tinggi sekaligus mengajarkan kepada masyarakat jika ingin tuntutannya dipenuhi oleh perusahaan, maka mereka harus "melakukan ancaman" terhadap perusahaan.  

Keempat, perlu ada keterlibatan aktif dari semua pihak, baik perusahaan, masyarakat atau pemerintah daerah setempat. Tidak bisa pencarian solusinya hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja. 

Dengan adanya sinergitas semua pihak, maka beban permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi lebih ringan untuk diselesaikan.

Dalam kasus penerangan desa, pemberian mesin genset sebenarnya masih bisa dibenarkan dengan beberapa catatan. Akan sangat baik kalau ada kolaborasi biaya pembelian genset antara pemerintah dengan perusahaan. Pemdes mengalokasikan sebagian dana desa, sedangkan perusahaan mengalokasikan dari dana CSR.

Untuk memastikan genset yang sudah dibeli bisa dikelola dengan baik, perusahaan bisa meminta pemerintah desa membentuk Bumdes PLTD sebagai pengelola genset. 

Nantinya pihak perusahaan bisa memberikan pembekalan kepada para pengelola Bumdes tersebut, baik melalui pelatihan teknis operasional genset atau pelatihan manajemen pengelolaan genset. 

Sehingga para pengelola Bumdes menjadi tenaga-tenaga terampil yang benar-benar siap dan mempunyai kompetensi yang cukup untuk mengelola PLTD dengan baik.

Masyarakat desa sebagai penerima manfaat dari listrik bisa ikut dilibatkan juga dengan cara penarikan iuran bulanan. Iuran tersebut yang nantinya dialokasikan untuk pembelian solar, perawatan genset dan gaji para pengelola. Dengan seperti itu akan muncul rasa tanggungjawab dari semua pihak untuk menjaga genset tetap terawat dan berumur panjang.

Diluar pemberian genset, sebenarnya masih ada banyak alternatif lain yang bisa dipilih perusahaan dalam membantu penerangan masyarakat desa. Misalnya saja melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan memanfaatkan potensi air terjun atau air sungai yang terdapat di sekitar desa. 

Selain lebih ramah lingkungan, pengembangan mikro hidro membuat beban pengeluaran masyarakat untuk listrik jauh bisa lebih hemat.  Atau kalau bisa dimungkinkan dengan cara pengembangan listrik tenaga surya atau tenaga angina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun