Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyimak Upaya Pemerintahan Jokowi Menghapus Kemiskinan Ekstrem

19 November 2023   11:23 Diperbarui: 20 November 2023   12:51 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemiskinan Ekstrem Turun 0 Persen. Sumber Foto Topik Pilihan Kompasiana.

Soal jenis kemiskinan, sebenarnya bukan hanya yang ekstrem. Sepengetahuan saya, ada juga yang biasa. Kemudian dari segi sebab, terdapat kemiskinan struktural dan kultural. Mari kita tengok sekilas pengertian masing-masing.

Saya sarikan dari banyak sumber, kemiskinan ekstrem adalah suatu kondisi dimana manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan primer seperti makan minum, tempat tinggal, sanitasi, kesehatan, pendidikan dan akses informasi.

Kemiskinan biasa, adalah suatu kondisi dimana manusia sanggup memenuhi kebutuhan primer namun diluar standard minimal. Misal punya rumah tapi tak layak, bisa makan minum cuma kadang-kadang dan sebagainya.

Pindah kepada kemiskinan struktural, ialah kemiskinan yang disebabkan oleh minimnya akses untuk menjangkau sumber daya sosial, budaya maupun politik. Gampangnya, ini kemiskinan karena faktor eksternal.

Kemiskinan kultural, ialah yang terjadi karena mindset, sikap dan kebiasaan yang melekat pada perorangan maupun masyarakat, akibat adanya ikatan adat istiadat atau budaya yang enggan memberdayakan diri melalui cara-cara modern.

Uraian saya berikut ini tak hendak mempertentangan soal beberapa definisi tersebut. Saya menyampaikannya, semata buat ilustrasi. Agar opini saya tentang kemiskinan ekstrem turun memperoleh permakluman.

Pendapat saya, upaya pemerintahan Jokowi buat menurunkan hingga ke titik nol kemiskinan ekstrem amatlah sulit. Terlebih waktunya cuma setahun. Heemm, rasanya mustahil ya. Kecuali terjadi keajaiban.

Disamping sulit, juga sungguh berat. Mengapa, karena bidang-bidang yang tidak dimiliki oleh penyandang kemiskinan ekstrem sangat banyak. Dan menyeluruh hampir pada semua lini kebutuhan hidup.

Apalagi memasuki tahun politik, khususnya pilpres 2024. Tantangan yang akan dihadapi Pak Jokowi pasti super besar. Anda tahu sendiri kan, saat ini beliau bukan hanya “musuhan” sama kelompok oposisi.

Tapi juga poros koalisi PDIP. Gara-gara merestui putra sulungnya Gibran jadi cawapres Prabowo Subianto. Ingat, kesuksesan mengentas kemiskinan ekstrem yang diraih Pak Jokowi, bisa dipersepsi juga sebagai jalan mulus bagi kemenangan pasangan Prabowo-Gibran.

Mungkin, oposisi yang punya capres Anies Baswedan dan poros PDIP yang menjagokan Ganjar Pranowo, kurang senang. Lalu bermanuver, bukan ingin mengagalkan upaya Pemerintah menghapus hingga 0 persen kemiskinan ekstrem.

Tapi sekedar menunda hingga usai gelaran pilpres 2024. Semoga saja pendapat saya itu tak terbukti. Sebab soal kemiskinan seyogyanya harus dijauhi dari kepentingan politik praktis macam diatas. Bahkan kalau bisa, mendukung perjuangan mengentas kemiskinan.

Tapi namanya juga hidup di dunia politik. Situasi yang pada awalnya diperkirakan mustahil, bisa saja terjadi. Sebaliknya, kondisi rigid yang sudah didepan mata, tiba-tiba berubah total seratus delapan puluh derajat.

Dan yang begitu itu, sering terjadi. Ingat pelengseran Gus Dur sebagai Presiden..? Hingga hari ini, tak ada satupun perbuatan beliau yang terbukti secara pidana melanggar hukum. Namun akibat manuver politik, pada akhirnya Gus Dur harus lengser juga.

Kemiskinan ekstrem memiliki kandungan masalah yang lebih rumit dan kompleksitas berlipat. Dalam pandangan saya, bidang-bidang persoalan yang mesti diselesaikan terlampau beragam dibanding kemiskinan biasa.

Selain sulit sebagaimana saya singgung diatas, juga memerlukan biaya besar. Padahal, beban APBN kita untuk tahun 2024 sudah terfokus pada gelaran Pemilu 2024. Juga ke IKN. Meskipun Pak Jokowi mampu menggaet investor, tak dapat di pungkiri IKN juga sedot APBN cukup besar.

Faktor lain, butuh konektivitas antar kementerian yang solid dan satu tujuan. Sementara pada situasi berbeda, para menteri Pak Jokowi berasal dari koalisi banyak parpol parlemen seperti PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan PAN.

Menghadapi pemilu 2024, para menteri itu tentu dapat tugas tambahan dari parpol masing-masing terkait pilpres 2024. Yakin saya, gerakan para menteri itu akan berbeda dengan posisi Jokowi.

Dan itu, sedikit banyak berpengaruh terhadap upaya mengentas kemiskinan yang dilakukan pemerintah saat ini. Baik pengaruh yang disebabkan oleh kinerja yang memang terganggu karena para menteri itu juga meluangkan waktu buat kampanye.

Tapi yang lebih dominan, adalah terganggu karena faktor beda pilihan politik. Secara pribadi, Pak Jokowi bersama Gerindra, Golkar dan PAN tentu mendukung Prabowo. Nasdem dan PKB lebih condong terhadap Anies Baswedan. Dan PDIP kepada Ganjar Pranowo.

Rumit serta berlipatnya kompleksitas menangani kemiskinan ekstrem pastinya juga berpengaruh dari segit target waktu. Tak bisa kalau cuma setahun. Mengingat berbagai faktor, paling tidak perlu satu periode atau lima tahun.

Ironisnya, batas akhir masa pemerintahan Pak Jokowi tinggal kurang lebih sekitar setahun kedepan. Mana cukup..? Iya kalau yang jadi Prabowo. Mungkin dilanjut. Lha kalau lawannya, masihkan upaya percepatan mengentas kemiskinan model Jokowi akan diteruskan..?

Masukan saya buat pemerintah, menyelesaikan soal kemiskinan apalagi yang ekstrem setidaknya memerlukan tiga tahapan program berikut ini. Disebut tahapan, karena dalam pelaksanaannya harus runtut dan satu demi satu.

Pertama, program jangka pendek. Ini terkait solusi atas ketakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan primer. Misal mereka tak bisa makan, beri dia Bansos. Tak memiliki tempat tinggal, instruksikan skema bedah rumah. Begitu seterusnya.

Kedua, program jangka menengah. Disini, kewajiban pemerintah adalah menyediakan pekerjaan. Diketahui, ketersediaan lapangan kerja merupakan problem mendasar yang jadi sebab munculnya kemiskinan dinegara kita.

Karena sifatnya antisipatif, maka obyek yang jadi sasaran program jangka menengah adalah rakyat yang masuk kategori usia produktif. Berumur kurang lebih 17-60 tahun. Yang ideal sebenarnya 20-55 tahun.

Ketiga, program jangka panjang. Target jangka panjang yang harus dicapai adalah perbaikan mental. Tujuannya, mengarah pada pemandirian masyarakat. Dan bidang yang wajib dimaksimalkan oleh pemerintah tentu sektor pendidikan.

Kalau program jangka panjang sukses, rakyat Indonesia akan mandiri. Secara ekonomi, mereka tak akan tergantung lagi kepada pihak lain. Bahkan bisa jadi mampu menciptakan peluang sendiri.

Terakhir, sukses tidaknya mengentas kemiskinan ekstrem dari segi program jangka pendek, menengah dan panjang mutlak memerlukan kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Tanpa upaya demikian, mustahil target dapat terwujud.

Kelompok yang harus bahu membahu dalam program jangka pendek adalah BPS dan pemerintah sendiri pada semua level. Tak lupa ialah para pendamping, terutama yang diberi amanat oleh Kementerian sosial.

Di program jangka menengah, sangat diperlukan peran pihak swasta. Ingat, yang punya kuasa menciptakan lapangan kerja bukan hanya pemerintah. Pihak swasta saya nilai justru punya wewenang membuka peluang kerja yang lebih banyak.

Pada program jangka panjang, sangat butuh campur tangan pihak keluarga dan masyarakat. Karena sehebat apapun usaha pemerintah mendidik rakyat agar mandiri, kalau tidak di dukung oleh elemen yang setiap hari ada dilingkungan sekitar itu, tetap akan mengalami kegagalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun