Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana pasangan Anies-Sandi menang dari Ahok-Djarot pada putaran kedua..? Kalau masih, kayaknya kemenangan seperti Anies-Sandi akan terjadi pada pilpres 2024. Tapi beda orang.
Anda masih ingatPrediksi saya itu bukan tanpa dasar. Saya melihatnya dari hasil survei terbaru, yang di padukan dengan keterikatan pemilih terhadap bakal capres Ganjar Pranowo dari PDIP, Prabowo Subianto Gerindra dan Anies Baswedan Nasdem.
Dulu saat Pilkada 2017, ada tiga pasangan yang berlaga di putaran pertama. Yaitu Ahok-Djarot, Anies-Sandi dan AHY-Sylvi. Pasangan Ahok-Jarot di unggulkan menang oleh banyak lembaga survei.
Elektabilitasnya selalu nangkring di urut pertama, Anies-Sandi kedua dan AHY-Sylvi ketiga. Begitu posisi ini terus berlangsung. Meski ada perubahan, cuma di tataran jumlah persentase. Sementara urut ranking tetap.
Saya kutip sebagian saja sebagai pengingat. Juga sebagai pembanding dengan hasil survei kandidat capres pada pilpres 2024. Dari LSI, pasangan Ahok-Djarot 31.4 persen, Anies-Sandi 21.2 persen dan AHY-Sylvi 13.3 persen.
Populi Center, pasangan Ahok-Djarot mendapatkan suara sebesar 45.5 persen, Anies-Sandi 23.5 dan AHY-Sylvi hanya 15.8 persen (Kompas.com/12 Oktober 2016).
Lalu seperti apa hasil coblosannya..? Pada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot leading sebagai pemenang kesatu. Mendapatkan suara sebesar 42.99 persen, kedua Anies-Sandi 39.95 dan ketiga AHY-Sylvi 17.02.
Namun saat di gelar coblosan putaran kedua, Ahok-Djarot justru kalah dari pasangan Anies-Sandi. Ketika itu, Ahok-Djarot mendapat suara sebesar 47 persen. Sedang Anies-Sandi 52 persen. Unggul 5 persen
Selalu nangkring di nomor urut satu hasil survei beberapa lembaga kredibel, menang pada putaran pertama, namun Ahok-Djarot harus kalah kepada pasangan Anies-Sandi saat coblosan putaran kedua.
Mengapa bisa terjadi..? Jawabannya adalah, karena eksistensi pemilih suara Ahok-Djarot stagnan. Tak akan pernah pindah ke lain hati memang, alias militan. Tapi jumlahnya ya cuma sekitar 40-an persen itu.
Sebaliknya, eksistensi suara Anies-Sandi menyimpan potensi besar untuk berkembang. Benar suara yang di dapat oleh pasangan ini saat putaran pertama cuma sekitar 30-an persen.
Namun ketika masuk coblosan putaran kedua, pasangan Anies-Sandi lebih berpeluang untuk mendapatkan limpahan, atau menyedot suara dari pasangan pemenang ketiga AHY-Sylvi.
Mengapa bisa begitu..? Karena secara emosional, para pemilih AHY-Sylvi lebih dekat kepada Anies-Sandi, ketimbang Ahok-Djarot. Maka jadilah pada putaran kedua, para pemilih AHY-Sylvi ramai-ramai mencoblos Anies-Sandi.
Ada memang yang ke Ahok-Djarot. Tapi jumlahnya sangat kecil. Tidak cukup signifikan mendongkrak suara mereka untuk menang pilkada. Inilah faktor yang membuat Anies-Sandi sukses jadi Gubernur DKI.
Lalu bagaimana prediksi pilpres 2024 mendatang..? Kalau kandidat yang bertarung masih Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, saya khawatir proses kemenangan Anies-Sandi di pilkada DKI Jakarta akan terulang.
Ganjar Pranowo yang di usung oleh PDIP akan menang pada putaran pertama. Namun saat memasuki putaran kedua, justru capres Gerindra Prabowo Subianto yang akan menang dan jadi presiden menggantikan Pak Jokowi.
Saat ini, berdasar data dari beberapa lembaga survei elektabilitas suara Ganjar Pranowo memang ada di atas. Unggul tipis atas Prabowo Subianto. Dan menang banyak atas Anies Baswedan.
Saya kutip salah satunya hasil survei Litbang Kompas, periode 27 Juli-7 Agustus 2023. Ganjar Pranowo mendapatkan suara sebanyak 24.9 persen, lalu Prabowo Subianto 24.6 dan terakhir Anies Baswedan 12.7 persen.
Tapi ingat, walau saat ini ada di atas angin bukan jaminan bagi Ganjar untuk leading pilpres 2024. Bisa-bisa, saat memasuki putaran kedua, suara Ganjar bakal di salip oleh capres Gerindra Prabowo Subianto.
Faktornya sama dengan saat Ahok-Djarot kalah dari pasangan Anies-Sandi di pilkada 2017. Eksistensi suara Ganjar stagnan. Meski pemilihnya yang mayoritas anggota PDIP itu punya militansi sangat kuat.
Anda tahu, secara emosional para pemilih Prabowo dan Anies punya sejarah kedekatan. Momentum Pilkada DKI 2017 merupakan salah satunya. Dan yang lainnya adalah pada pilpres 2019 lalu.
Faktor lain, para pemilih Anies juga tergolong militan. Terutama yang ada di PKS. Saya kira, sangat sulit bagi konstituen partai ini untuk menjatuhkan pilihan kepada capres dari PDIP.
Untuk sementara ini, konstituen PKS tetap akan mencoblos Anies Baswedan. Tapi manakala Anies kalah di putaran pertama, di putaran kedua mereka lebih condong untuk pindah suara ke Prabowo.
Para konstituen Demokrat saya kira juga sama. Akan memindahkan suaranya ke Prabowo saat masuk putaran kedua. Meskipun kadar kepastiannya lebih rendah dibanding para konstituen PKS.
Untuk Nasdem bisa jadi fifty-fifty. Sebagian arahkan pilihan ke Prabowo, dan sebagian lagi ada yang ke Ganjar Pranowo. Mengingat kedekatan yang selama ini terjalin antara Surya Paloh dan Megawati.
Terkecuali PDIP bisa menarik Nasdem masuk gerbong menemani PPP, Hanura dan Perindo yang sudah lebih dulu ada, ditambah kompensasi jumlah menteri misalnya, kemungkinan besar banyak juga konstituen Nasdem yang coblos Ganjar.
Tapi itupun tak cukup sigfikan untuk bisa mendongkrak suara Ganjar hingga menang pilpres pada putaran kedua. Menurut saya, bahkan semua konstituen Nasdem enggan coblos Prabowo, masih juga kurang.
Sebab partai milik Surya Paloh itu tergolong ada di papan bawah. Demokrat dan PKS sebenarnya juga di posisi yang sama. Tapi kalau suara konstituen keduanya di gabung jadi satu untuk coblos Prabowo, bawaannya jadi besar juga.
Kecenderungan Prabowo untuk menang pada putaran kedua, masih di perkuat lagi oleh kenyataan pada beberapa waktu lalu. Dimana Partai Gerindra dan Demokrat membuka peluang untuk kerja sama setelah kelar pilpres putaran pertama.
Itu ditandai oleh pertemuan antara Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, pada Kamis, 20/07/2023 di Auditorium Yudhoyono DPP Partai Demokrat Jakarta.
Kedua Sekjen yang mewakili partai masing-masing sepakat untuk menjalin kolaborasi. Andai salah satu di antara kandidat pasangan capres cawapres dari kedua partai harus kalah di putaran pertama.
Beberapa fakta di atas jelas merupakan warning yang wajib di perhatikan oleh PDIP yang mencapreskan Ganjar Pranowo. Rasanya, PDIP mesti putar otak untuk menyusun strategi pemilu 2024 yang lebih jitu.
Masukan saya, bakal cawapres kiranya perlu lebih di perhatikan. Jangan sampai Ibu Megawati salah menentukan pendamping Ganjar. Karena bisa berakibat PDIP gagal meraih hattrick.
Ingat, proses kemenangan Anis-Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017 perlu di jadikan pelajaran berharga bagi PDIP. Yang ketika itu terlalu jumawa menghadirkan Ahok sebagai simbol kemenangan bagi PDIP. Tapi nyatanya, tetap kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H