Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polusi Budaya Saat HUT RI ke-78

17 Agustus 2023   10:13 Diperbarui: 17 Agustus 2023   10:15 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi Saat Menyampaikan Pidato Kenegaraan (Sumber Foto Kompas.com/YouTube.com/Sekretariat Presiden).

Selamat ulang tahun negaraku. Seperti biasa, doa dan panjatan keinginan terbaik yang  dihaturkan kepada Allah SWT buatmu, adalah harapan yang dibutuhkan oleh setiap wargamu.

Dimana penghuninya terdiri dari beragam suku, bangsa dan agama. Heterogenitas demikian pastilah membuatmu harus telaten merawat masing-masing kelompok. Agar diantara mereka tetap menjadi makhluk yang berbudaya.

Semua pasti setuju terhadap apa yang saya ungkap di atas itu, termasuk para pembaca sekalian. Mengapa, karena hakikat dari peringatan kelahiran sebuah negara memang harus berupa idealisme.

Yang salah satu diantaranya adalah mencapai harmoni. Dan tema ini yang saya kira sangat pas dijadikan pembahasan dalam rangka memperingati HUT RI Ke-78 tahun ini.

Bagi sebuah negara macam Indonesia, usia 78 tahun tergolong masih muda. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang saat ini sudah berumur 247 tahun. Demikian pula jika di ukur dengan sebagian negara maju di Eropa sana.

Tapi bagi seorang manusia atau warga negara yang menghuni tanah air Indonesia, usia 78 tahun tentu sudah tergolong sepuh. Mestinya sudah matang secara mental dan bijak dalam bersikap.

Yang namanya bijak ialah saat hendak melakukan sesuatu, baik dan buruk dipikir lebih dulu. Ketika mau bersikap, dipilih tindakan dan ucapan yang penuh kesopanan dan kesantunan. Jauh dari kesan kasar yang ukurannya dikembalikan kepada diri sendiri.

Kalau ada satu jenis perbuatan atau ucapan bisa membuat diri ini dongkol, pastilah demikin pula jika dialami oleh orang lain.

Bijak berpendapat dan sopan santun dalam bertindak harusnya dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia yang sudah tergolong berusia sepuh. Entah itu rakyat bisa, dan terlebih yang masuk kategori tokoh.

Terutama yang tergolong sebagai pejabat tinggi, ulama atau kyai dan yang merasa dirinya cerdik cendekiawan. Mereka inilah mestinya yang menjadi teladan. Bukan malah mengintrodusir kecerobohan.

Pidato Kenegaraan presiden Jokowi tanggal 16 Agustus 2023 kemarin sangat menarik untuk di cermati. Terutama jika dihubungkan dengan sikap bijak dan sopan santun yang dimiliki oleh warga negara Indonesia.

Dalam pidato itu Jokowi melontarkan istilah yang relatif mutakhir. Setidaknya ini menurut penilaian saya. Mengapa, karena istilah itu kurang dikenal sebelumnya. Saya bahkan mendengarnya baru dari pidato beliau.

Apa istilah yang disampaikan Jokowi..? Jawabnya polusi budaya. Istilah ini dipakai, mungkin karena presiden ingin membawa persepsi masyarakat kepada soal polusi udara yang saat ini tengah melanda Jakarta.

Bahwa soal polusi adalah masalah serius. Tidak bisa dianggap main-main. Maka itu harus segera dicarikan solusi. Karena bisa jadi ancaman. Polusi udara mengancam kesehatan. Sedang polusi budaya mengancam peradaban.

Dalam pidatonya, Jokowi mengaitkan soal polusi budaya dengan perlakuan sebagian tokoh, terutama yang berada di barisan oposisi, yang terkesan ada dalam frame “kebencian”.

Presiden bahkan hingga merinci satu demi satu beberapa jenis perlakuan tersebut. Misal menyebut presiden sebagai orang bodoh, plonga plongo, tidak tahu apa-apa, firaun dan tolol.

Namun beliau menambahkan. Meskipun mendapat perlakuan seperti itu, secara pribadi Jokowi menerima. Tak sedikitpun ada rasa ingin membalas terhadap semua perlakuan kurang baik tersebut.

Tapi sebagai seorang presiden, Jokowi merasa sedih. Karena budaya santun dan budi pekerti luhur yang merupakan trade merk bangsa Indonesia, kelihatan mulai hilang. Akibat salah menerapkan kebebasan dan demokrasi.

Saya amati, kelompok oposisi yang sering membonceng kebebasan dan demokrasi itu, serta menyebut Jokowi dengan berbagai istilah buruk atau kasar, membungkusnya dengan alasan menyampaikan kritik.

Benar memang, yang namanya kritik wajib disampaikan kepada para penguasa macam presiden Jokowi. Agar tercipta keseimbangan dalam pemerintahan.

Namun, apakah kritik tersebut harus menggunakan istilah yang dalam koridor etika sama sekali tak pantas di ucapkan oleh tokoh yang mengklaim dirinya sebagai orang yang beradab..?

Menurut saya tidak harus begitu. Ingat, kosa kata dalam literatur bahasa kita sangat kaya. Tinggal dipilih mana yang layak digunakan. Misal, menyebut seseorang “perlu banyak belajar”, tentu lebih santun daripada mengatakan “bodoh”.

Naahh, kecakapan atau pengetahuan memilih diksi demikian yang sekarang dirasakan oleh Jokowi, dan mungkin juga para pembaca sekalian, hampir lenyap dari peradaban kita sebagai bangsa Indonesia.

Dan polusi budaya macam begitu itu yang harus dilawan untuk segera dihentikan. Sebab kalau tidak, pada akhirnya akan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan bukan lagi barang tabu. Untuk kemudian lama kelamaan menjadi hilang lenyap tanpa bekas.

Dampak lain, orang-orang yang ada di negara kita ini lalu tidak dapat membedakan, mana yang namanya kritik dan mana pula yang tergolong cacian. Akibatnya, substansi masalah yang di perdebatkan jadi kabur.

Sesuatu yang harusnya tergolong kritik, lupa di sampaikan, karena terlalu asik memilih diksi yang dianggap “menyengat”. Padahal sebenarnya bukan menyengat. Tapi menyakitkan.

Kritik merupakan sebuah proses melakukan analisa dan evalusasi terhadap sebuah kebijakan atau keputusan yang dilakukan oleh penguasa. Tujuan kritik adalah dalam rangka memperbaiki.

Sementara itu, cacian ialah melontarkan kata-kata buruk dan kotor oleh satu pihak kepada pihak lain. Ini juga meliputi cercaan atau makian. Disini jelas bedanya. Bahwa kritik bukanlah cacian. Dan cacian bukan pula kritik.

Karenanya, seseorang yang berniat melakukan kritik terhadap sebuah kebijakan, seyogyanya disampaikan melalui pemilihan diksi yang baik. Tidak bisa sembarangan sebagaimana pernah dilontarkan oleh Rocky Gerung misalnya.

Menyebut Pak Jokowi sebagai tol*** sangat lah tidak pantas. Ada pilihan kata yang substansinya sama dengan maksud itu, tapi lebih halus bahasanya. Misal Jokowi “perlu diberi masukan”.

Apapun alasannya, meski memiliki tujuan baik, tetap tidak etis jika disampaikan dengan cara berkata kotor atau menjijikkan. Dan saya yakin, semua agama bahkan penganut atheis sekalipun, sepakat akan hal ini.

Khusus untuk konteks Indonesia seperti keprihatinan Jokowi yang disampaikan pada pidato kenegaraan, cacian sangat melukai keluhuran budi pekerti pelbagai kelompok bangsa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun