Naahh, kecakapan atau pengetahuan memilih diksi demikian yang sekarang dirasakan oleh Jokowi, dan mungkin juga para pembaca sekalian, hampir lenyap dari peradaban kita sebagai bangsa Indonesia.
Dan polusi budaya macam begitu itu yang harus dilawan untuk segera dihentikan. Sebab kalau tidak, pada akhirnya akan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan bukan lagi barang tabu. Untuk kemudian lama kelamaan menjadi hilang lenyap tanpa bekas.
Dampak lain, orang-orang yang ada di negara kita ini lalu tidak dapat membedakan, mana yang namanya kritik dan mana pula yang tergolong cacian. Akibatnya, substansi masalah yang di perdebatkan jadi kabur.
Sesuatu yang harusnya tergolong kritik, lupa di sampaikan, karena terlalu asik memilih diksi yang dianggap “menyengat”. Padahal sebenarnya bukan menyengat. Tapi menyakitkan.
Kritik merupakan sebuah proses melakukan analisa dan evalusasi terhadap sebuah kebijakan atau keputusan yang dilakukan oleh penguasa. Tujuan kritik adalah dalam rangka memperbaiki.
Sementara itu, cacian ialah melontarkan kata-kata buruk dan kotor oleh satu pihak kepada pihak lain. Ini juga meliputi cercaan atau makian. Disini jelas bedanya. Bahwa kritik bukanlah cacian. Dan cacian bukan pula kritik.
Karenanya, seseorang yang berniat melakukan kritik terhadap sebuah kebijakan, seyogyanya disampaikan melalui pemilihan diksi yang baik. Tidak bisa sembarangan sebagaimana pernah dilontarkan oleh Rocky Gerung misalnya.
Menyebut Pak Jokowi sebagai tol*** sangat lah tidak pantas. Ada pilihan kata yang substansinya sama dengan maksud itu, tapi lebih halus bahasanya. Misal Jokowi “perlu diberi masukan”.
Apapun alasannya, meski memiliki tujuan baik, tetap tidak etis jika disampaikan dengan cara berkata kotor atau menjijikkan. Dan saya yakin, semua agama bahkan penganut atheis sekalipun, sepakat akan hal ini.
Khusus untuk konteks Indonesia seperti keprihatinan Jokowi yang disampaikan pada pidato kenegaraan, cacian sangat melukai keluhuran budi pekerti pelbagai kelompok bangsa.