Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polusi Budaya Saat HUT RI ke-78

17 Agustus 2023   10:13 Diperbarui: 17 Agustus 2023   10:15 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi Saat Menyampaikan Pidato Kenegaraan (Sumber Foto Kompas.com/YouTube.com/Sekretariat Presiden).

Dalam pidato itu Jokowi melontarkan istilah yang relatif mutakhir. Setidaknya ini menurut penilaian saya. Mengapa, karena istilah itu kurang dikenal sebelumnya. Saya bahkan mendengarnya baru dari pidato beliau.

Apa istilah yang disampaikan Jokowi..? Jawabnya polusi budaya. Istilah ini dipakai, mungkin karena presiden ingin membawa persepsi masyarakat kepada soal polusi udara yang saat ini tengah melanda Jakarta.

Bahwa soal polusi adalah masalah serius. Tidak bisa dianggap main-main. Maka itu harus segera dicarikan solusi. Karena bisa jadi ancaman. Polusi udara mengancam kesehatan. Sedang polusi budaya mengancam peradaban.

Dalam pidatonya, Jokowi mengaitkan soal polusi budaya dengan perlakuan sebagian tokoh, terutama yang berada di barisan oposisi, yang terkesan ada dalam frame “kebencian”.

Presiden bahkan hingga merinci satu demi satu beberapa jenis perlakuan tersebut. Misal menyebut presiden sebagai orang bodoh, plonga plongo, tidak tahu apa-apa, firaun dan tolol.

Namun beliau menambahkan. Meskipun mendapat perlakuan seperti itu, secara pribadi Jokowi menerima. Tak sedikitpun ada rasa ingin membalas terhadap semua perlakuan kurang baik tersebut.

Tapi sebagai seorang presiden, Jokowi merasa sedih. Karena budaya santun dan budi pekerti luhur yang merupakan trade merk bangsa Indonesia, kelihatan mulai hilang. Akibat salah menerapkan kebebasan dan demokrasi.

Saya amati, kelompok oposisi yang sering membonceng kebebasan dan demokrasi itu, serta menyebut Jokowi dengan berbagai istilah buruk atau kasar, membungkusnya dengan alasan menyampaikan kritik.

Benar memang, yang namanya kritik wajib disampaikan kepada para penguasa macam presiden Jokowi. Agar tercipta keseimbangan dalam pemerintahan.

Namun, apakah kritik tersebut harus menggunakan istilah yang dalam koridor etika sama sekali tak pantas di ucapkan oleh tokoh yang mengklaim dirinya sebagai orang yang beradab..?

Menurut saya tidak harus begitu. Ingat, kosa kata dalam literatur bahasa kita sangat kaya. Tinggal dipilih mana yang layak digunakan. Misal, menyebut seseorang “perlu banyak belajar”, tentu lebih santun daripada mengatakan “bodoh”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun