Saat ini gugatan sedang di proses oleh MK. Bagaimana nanti keputusannya, kita tidak tahu. Kecuali para hakim yang menyidangkan gugatan judicial review.
Namun KPU sebaiknya tidak menunggu kelarnya persidangan. Sambil menyiapkan antisipasi jika ada perubahan, ada baiknya aturan terbaru tentang tekhnis pencoblosan suara dan penentuan caleg terpilih tetap disusun menggunakan pedoman regulasi yang masih berlaku. Yaitu UU Nomor 07 Tahun 2017.
Dan rupanya, langkah KPU sudah mendahului harapan saya. Pada satu diskusi bertajuk “OTW 2024, Setahun Menjelang Pemilu” yang dilaksanakan di Erian Hotel Jakarta Pusat pada Minggu tanggal 19 Pebruari 2023.
Salah seorang anggota komisioner KPU bernama Idham Holik menegaskan, bahwa hingga saat ini KPU masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Sesuai Pasal 168, ayat 2 UU sistem pemilu diatas.
Saya pribadi sebenarnya setuju dengan pendapat seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Siti Zuhro.
Yang pada intinya menekankan agar jika ada kekurangan pada sistem pemilu coblos caleg atau proporsional terbuka sebaiknya tak terburu-buru untuk langsung dirubah.
Karena itu membuat demokrasi kita tidak ada peningkatan. Yang patut dilakukan seharusnya adalah memperbaiki (DetikNews, 19/02/2023).
Sudah tiga kali negara kita melaksanakan pemilu dengan cara proporsional terbuka. Belum sempurna memang.
Tapi, lepas dari soal bagaimana cara menangnya, sejauh ini para anggota legislatif yang terpilih dengan sistem itu sudah berhasil menelorkan berbagai regulasi.
Maka ketidak sempurnaan proporsional terbuka sebaiknya kita sikapi ibarat sebentuk tubuh yang sedang sakit kepala. Solusinya, bukan kepalanya yang di potong. Tapi pergi ke dokter untuk dicarikan obat.
Soal caleg berkualitas atau tidak saya kira mudah cara mengatasinya. Sejak awal penjaringan, parpol buat aturan ketat. Yang isinya menutup ruang bagi kemungkinan tampilnya figur tak punya kemampuan masuk dalam daftar caleg.