Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masih tentang Pemilu Proporsional Tertutup atau Terbuka

20 Februari 2023   08:13 Diperbarui: 21 Februari 2023   03:15 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu, Sumber Foto Kompas.com

Sejak pemilu 2009, sistem pemilu legislatif di negara kita menggunakan proporsional terbuka. Sebelumnya proporsional tertutup. Kini yang terbuka sedang digugat oleh beberapa elemen masyarakat ke Mahkamah Konstitusi atau MK. 

Saat ini masih dalam proses persidangan. Sebelum ada putusan, soal terbuka tertutup pasti akan jadi polemik. Antara yang pro dan kontra.

Polemik bahkan menyeret perseteruan dua partai politik yang sedari awal merupakan musuh bebuyutan. Yaitu PDIP dengan Partai Demokrat. 

Polemik ditunjukkan oleh kedua elit partai di media. Antara Deputi Analisa Data dan Informasi DPP Partai Demokrat Syahrial Nasution lawan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Syahrial dan Hasto saling saut membela partai masing-masing.

Disarikan dari berbagai sumber, Syahrial menyebut Hasto dalam kondisi sedang halusinasi saat menilai Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY tidak mengerti sejarah soal polemik sistem pemilu legislatif. 

Syahrial bahkan menyebut, Hasto punya posisi beda kelas dibanding SBY. Apa yang diungkap oleh SBY tentang judicial review bukan peperangan antara PDIP lawan Demokrat. Tapi merupakan masalah bangsa.

Sebelumnya, Hasto memang memberi kesimpulan. Bahwa SBY-lah yang melakukan perubahan sistem pemilu dari tertutup menjadi terbuka. Melalui judicial review oleh beberapa kader Demokrat. 

Kata Hasto lebih lanjut, apa yang dilakukan oleh SBY ketika itu semata demi meraup keuntungan jangka pendek. Dan pada akhirnya, Partai Demokrat mengalami kenaikan suara hingga 300 persen.

Sekedar diketahui, untuk persoalan koalisi pilpres posisi Demokrat memang beda kelompok dibanding tujuh partai lain. Golkar, PPP dan PAN ada di KIB. Gerindra PKB di KKIR. 

Sementara Demokrat kumpul bareng Nasdem dan PKS berencana membentuk KP. Namun dalam masalah sistem pemilu, kedelapan partai kompak satu suara. Berseberangan dengan PDIP yang ingin proporsional tertutup.

Sementara itu, pada satu kesempatan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet menyatakan, baik proporsional terbuka maupun tertutup punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. 

Mungkin Bamsoet hendak mendudukkan posisi kedua sistem secara berimbang. Bahwa masing-masing tidak bisa di klaim sebagai yang terbaik dibanding yang lain. Hal ini disampaikan saat peresmian Graha pena 98 di jalan Hos Cokroaminoto 115, Menteng Jakarta Pusat.

Disarikan dari DetikNews 19 Pebruari 2023, Bamsoet menjelaskan sisi positif proporsional terbuka adalah caleg punya kedekatan lebih kuat dihadapan rakyat. 

Namun sisi negatifnya, ada peluang besar terjadi money politic. Sebaliknya pada sistem proporsional tertutup. 

Partai politik lebih mudah menentukan caleg berkualitas yang akan didudukkan di parlemen. Tapi kelemahannya, anggota parlemen tidak lagi takut pada rakyat. Tapi kepada partai.

Seorang pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya bernama Airlangga Pribadi pernah menawarkan solusi jalan tengah. 

Disarikan dari tayangan VIVA.co.id 6 Januari 2023, Airlangga memberi saran agar meniru sistem pemilihan di Jerman. Di negara yang diperintah oleh “Kanselir” ini, pemilu diadakan dengan cara sistem campuran.

Seperti apa bentuknya..? Warga pemilih diberi dua surat suara. Satu lembar untuk memilih partai politik. Yang satunya lagi memilih calon. Ini mirip dengan pemilu legislatif dinegara kita tahun 2004 silam. 

Bedanya cuma di kertas suara. Tidak seperti di Jerman, ketika itu pemilih cuma menerima satu surat suara untuk satu tingkatan wilayah. Hanya saja, dikertas suara tersebut ada kolom mencentang partai dan kolom nama calon.

Lalu seperti apa hasilnya? Menurut saya sama saja dengan sistem proporsional tertutup. Meski caleg nomor urut buncit punya hak duduk di kursi legislatif mengalahkan nomor diatasnya dengan syarat harus mendapat suara sebanyak jumlah satu kursi, pada prakteknya tidak begitu. 

Yang banyak jadi tetaplah caleg bernomor urut kecil terutama 1 dan 2. Mengapa, karena ternyata sangat sulit memenuhi syarat jumlah suara tersebut.

Saat ini gugatan sedang di proses oleh MK. Bagaimana nanti keputusannya, kita tidak tahu. Kecuali para hakim yang menyidangkan gugatan judicial review. 

Namun KPU sebaiknya tidak menunggu kelarnya persidangan. Sambil menyiapkan antisipasi jika ada perubahan, ada baiknya aturan terbaru tentang tekhnis pencoblosan suara dan penentuan caleg terpilih tetap disusun menggunakan pedoman regulasi yang masih berlaku. Yaitu UU Nomor 07 Tahun 2017.

Dan rupanya, langkah KPU sudah mendahului harapan saya. Pada satu diskusi bertajuk “OTW 2024, Setahun Menjelang Pemilu” yang dilaksanakan di Erian Hotel Jakarta Pusat pada Minggu tanggal 19 Pebruari 2023.

Salah seorang anggota komisioner KPU bernama Idham Holik menegaskan, bahwa hingga saat ini KPU masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Sesuai Pasal 168, ayat 2 UU sistem pemilu diatas.

Saya pribadi sebenarnya setuju dengan pendapat seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI Siti Zuhro. 

Yang pada intinya menekankan agar jika ada kekurangan pada sistem pemilu coblos caleg atau proporsional terbuka sebaiknya tak terburu-buru untuk langsung dirubah. 

Karena itu membuat demokrasi kita tidak ada peningkatan. Yang patut dilakukan seharusnya adalah memperbaiki (DetikNews, 19/02/2023).

Sudah tiga kali negara kita melaksanakan pemilu dengan cara proporsional terbuka. Belum sempurna memang. 

Tapi, lepas dari soal bagaimana cara menangnya, sejauh ini para anggota legislatif yang terpilih dengan sistem itu sudah berhasil menelorkan berbagai regulasi. 

Maka ketidak sempurnaan proporsional terbuka sebaiknya kita sikapi ibarat sebentuk tubuh yang sedang sakit kepala. Solusinya, bukan kepalanya yang di potong. Tapi pergi ke dokter untuk dicarikan obat.

Soal caleg berkualitas atau tidak saya kira mudah cara mengatasinya. Sejak awal penjaringan, parpol buat aturan ketat. Yang isinya menutup ruang bagi kemungkinan tampilnya figur tak punya kemampuan masuk dalam daftar caleg. 

Kalau semua calegnya berkualitas, ya pastilah hasil pilihannya akan menampilkan figur berkualitas pula.

Jangan seperti selama ini. Demi menggaet vox pop, dalam menyusun daftar caleg parpol cuma mengutamakan pupolaritas dan memprioritaskan “orang kaya”. 

Akibatnya, ya seperti kita lihat selama ini. Tak sedikit caleg terpilih dari partai tertentu hanya bisa “Duduk, Diam, Duit”. Bahkan kadang nambah “Tidur” pula.

Akankah MK mengabulkan judicial review tentang sistem pemilu proporsional terbuka..? Menurut saya, MK sebaiknya menolak. Sebab kalau menerima, dapat menurunkan marwah MK sendiri. 

Lha dulu yang memutuskan berubah dari tertutup ke terbuka kan MK. Masak sekarang MK juga yang mengembalikan dari terbuka ke tertutup.

Lagi pula, dalam salah satu amar putusan disebutkan, bahwa Pasal 214 UU Pemilu Badan Representatif 2008 yang isinya tertutup dianggap oleh MK bertentangan dengan UUD 1945. 

Nah, kalau sudah jelas-jelas bertentangan, mengapa harus dikembalikan lagi ke proporsional tertutup? Bukankah itu sama artinya pemilu legisltaif 2024 cacat konstitusi karena tak sesuai dengan UUD 1945?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun