Mohon tunggu...
Yayuk Sulistiyowati M.V.
Yayuk Sulistiyowati M.V. Mohon Tunggu... Guru - Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gua Maria Sendang Purwaningsih: Simbol Iman dan Pluralitas dari Masa ke Masa

10 Desember 2024   11:30 Diperbarui: 11 Desember 2024   03:46 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdoa di depan gua Maria Sendang Purwaningsih (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Seorang sahabat saya, umat asli paroki Purworejo, Dedi Setiono mengisahkan bahwa dahulu ketika remaja beliau kerap semedi di papan semedi tersebut. Dedi menyampaikan bahwa laku tapa dan puasa sudah menjadi tradisi umat setempat, baik yang Katolik maupun non Katolik.

Ruang dalam panti samadi (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Ruang dalam panti samadi (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Laku tapa dan puasa yang dimaksudkan tak lebih dari sebuah ungkapan iman dalam mendekatkan diri lebih dalam pada Sang pencipta. Menyatu dengan alam dan kesunyian, dan memang benar adanya bahwa doa-doa yang kita panjatkan dengan penuh keyakinan di tempat ini cepat atau lambat akan mendapat jawaban.

Sosok Fransiskus Xaverius Doeto Oetomo

Kisah keberadaan Gua Maria tertua di Malang Raya ini tak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan umat Katolik di kawasan Malang Selatan, khususnya di wilayah Purworejo.

Berawal dari seorang pemuda desa Purworejo bernama Wagirin yang pada tahun 1932-1934 mengenyam pendidikan di Ladbouw School di Ketindan, kota Malang. Landbouw School di daerah Ketindan ini merupakan sekolah pendidikan kejuruan bidang pertanian dan perkebunan yang sudah ada sejak tahun 1927.

Selama bersekolah di Landbouw School, Wagirin belajar menjadi seorang Katolik atau seorang katekumen dalam bimbingan Mijneer A. Rubiman hingga kemudian dibabtis oleh Romo Avertanus Antonius Everardus Johannes Albers, O.Carm di gereja Jago Lawang (sekarang Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda). Wagirin dibabtis dengan nama pelindung Fransiskus Xaverius.

Selesai mengeyam pendidikan di Landbouw School, Wagirin kembali pulang ke desanya Purworejo dan kemudian ia lebih dikenal dengan nama Fransiskus Xaverius Doeto Oetomo. Keenam saudaranya kemudian mengikuti jejaknya menjadi seorang Katolik dan dibaptis.

Panti samadi, tempat meditasi umat (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Panti samadi, tempat meditasi umat (Sumber: Dokumentasi pribadi)

F.X. Doeto Oetomo beserta keenam saudaranya inilah yang kemudian menjadi perintis umat paroki Purworejo yaitu keluarga Ambrosius Pademo, Y. Wiramijo, Paulus Darmosusanto, dan St. Mitrah.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1938 F.X. Doeto Oetomo bersama kelompok kecil ini mengajukan permohonan untuk dibuka sebuah sekolah misi di daerah Purworejo. Permohonan ini pun dikabulkan, dengan dibukanya Sekolah Rakyat Katolik (SRK) yang diampu oleh seorang guru A. Dibjasoesanto.

Pada tahun yang sama, pada tahun 1938-1941, F.X. Doeto Oetomo dipercaya untuk mengajar di SRK Kedungkandang, Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun