Seorang sahabat saya, umat asli paroki Purworejo, Dedi Setiono mengisahkan bahwa dahulu ketika remaja beliau kerap semedi di papan semedi tersebut. Dedi menyampaikan bahwa laku tapa dan puasa sudah menjadi tradisi umat setempat, baik yang Katolik maupun non Katolik.
Laku tapa dan puasa yang dimaksudkan tak lebih dari sebuah ungkapan iman dalam mendekatkan diri lebih dalam pada Sang pencipta. Menyatu dengan alam dan kesunyian, dan memang benar adanya bahwa doa-doa yang kita panjatkan dengan penuh keyakinan di tempat ini cepat atau lambat akan mendapat jawaban.
Sosok Fransiskus Xaverius Doeto Oetomo
Kisah keberadaan Gua Maria tertua di Malang Raya ini tak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan umat Katolik di kawasan Malang Selatan, khususnya di wilayah Purworejo.
Berawal dari seorang pemuda desa Purworejo bernama Wagirin yang pada tahun 1932-1934 mengenyam pendidikan di Ladbouw School di Ketindan, kota Malang. Landbouw School di daerah Ketindan ini merupakan sekolah pendidikan kejuruan bidang pertanian dan perkebunan yang sudah ada sejak tahun 1927.
Selama bersekolah di Landbouw School, Wagirin belajar menjadi seorang Katolik atau seorang katekumen dalam bimbingan Mijneer A. Rubiman hingga kemudian dibabtis oleh Romo Avertanus Antonius Everardus Johannes Albers, O.Carm di gereja Jago Lawang (sekarang Gereja Santa Perawan Maria Tak Bernoda). Wagirin dibabtis dengan nama pelindung Fransiskus Xaverius.
Selesai mengeyam pendidikan di Landbouw School, Wagirin kembali pulang ke desanya Purworejo dan kemudian ia lebih dikenal dengan nama Fransiskus Xaverius Doeto Oetomo. Keenam saudaranya kemudian mengikuti jejaknya menjadi seorang Katolik dan dibaptis.
F.X. Doeto Oetomo beserta keenam saudaranya inilah yang kemudian menjadi perintis umat paroki Purworejo yaitu keluarga Ambrosius Pademo, Y. Wiramijo, Paulus Darmosusanto, dan St. Mitrah.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1938 F.X. Doeto Oetomo bersama kelompok kecil ini mengajukan permohonan untuk dibuka sebuah sekolah misi di daerah Purworejo. Permohonan ini pun dikabulkan, dengan dibukanya Sekolah Rakyat Katolik (SRK) yang diampu oleh seorang guru A. Dibjasoesanto.
Pada tahun yang sama, pada tahun 1938-1941, F.X. Doeto Oetomo dipercaya untuk mengajar di SRK Kedungkandang, Malang.