Mohon tunggu...
Yutta Sihing Gusti
Yutta Sihing Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata I Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta konsentrasi Media dan Jurnalistik

Lewat laman ini, akan saya tuliskan isi dan gagasan pikiran yang menjadi keresahan tersendiri. Ada baiknya pikiran tertuang dalam media dan terbaca oleh orang lain. Jangan sampai pikiran hanya menjadi sebatas pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semakin Dewasa, Semakin Sadar Pentingnya Pendidikan

20 April 2024   10:43 Diperbarui: 20 April 2024   10:56 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Yogendra Singh : https://www.pexels.com

Saat memasuki remaja, saya pernah berfikir mengapa saya harus menjalani pendidikan yang begitu panjang dan rumit? Sejak kecil saya tidak tahu apa-apa, kemudian dimasukan kedalam sekolah yang isinya juga manusia yang sama bodohnya dengan saya. Sedikit cerita. Saat memasuki taman kanak-kanak, saya ogah untuk masuk ke dalam kelas dan merengek sembari kabur, seolah sekolah adalah sarang kriminal bagi saya. Tak banyak bergaul semejak saya memasuki TK. Hanya sekedar numpang muka dan mengikuti saja arahan dari guru disana. Ambisi pun rasanya belum ada dalam diri saya.

Memasuki sekolah dasar, saya cukup pintar dalam akademis. Ya setidaknya pernah masuk ranking 1 selama 3 tahun berturut-turut. Mengikuti lomba akademis dan menang. Jadi siswa paling berprestasi di sekolahan, dan paling dikenal di masa itu. Tidak mengenal apa itu mencari validasi, sudah datang dengan sendirinya. Kala itu, saya hanya berpikir bahwa pendidikan adalah untuk kedua orang tua saya, tidak lebih dari itu. 

Seperti banyak orang berkata, masa pubertas adalah masa pencarian jati diri. Mungkin setidaknya itu benar adanya. Saat SMP, saya ingat, saya pernah berpikir hal yang tertulis pada baris awal tadi. Lucunya, dasar argumentasi tersebut tercipta tatkala saya menonton ceramah motivasi ala-ala dari seorang pesulap kawakan, Deddy Corbuzier. 

Saya tidak ingat apa judulnya, yang pasti inti dari argumennya adalah mengapa sekolah sudah tidak relevan di masa itu? Sebabnya karena perkembangan internet yang mendulang pergerakan informasi dan edukasi menjadi lebih fleksibel. Saya juga ingat simbolisasi populer yang mendukung radikalnya pemikiran saya kala itu - saya anggap cukup radikal saat itu - yaitu, perumpamaan seekor ikan yang memanjat tangkai pohon. 

Kala itu, saya pernah berargumentasi hebat dengan seorang guru di sekolah perihal irelevannya sekolah di masa sekarang - saat itu -dan kritik saya terhadap sistem pendidikan. Saya mengajukan argumentasi bahwa sistem pendidikan yang berusaha menyamaratakan kemampuan siswa malah membawa dampak pada hilangnya minat siswa terhadap aspek yang akan mendulang kehidupannya kelak. Ibarat seekor ikan yang dipaksa memanjat setangkai pohon. 

Siswa dilahirkan berbeda-beda, tapi di sekolah semua harus disamaratakan atas nama pendidikan. Bagi saya saat itu, sekolah juga bukan merupakan kehendak bebas seorang anak. Sekolah hanya sebatas egoisme orang tua untuk menjadikan anaknya investasi di masa depan. Dengan argumentasi yang demikian, saya merasa keren seperti seorang revolusioner yang menentang sistem yang berantakan. Ditambah lagi, saya bertemu dengan teman-teman yang berpikiran serupa dengan saya. 

Saat memasuki bangku SMA, semakin bertambah kebencian saya terhadap sistem pendidikan. Jika sebelumnya saya mengkritik sistem pendidikan secara esensi, saat SMA saya lebih  berorientasi terhadap sistem pendidikan secara praktikal lewat buruknya birokrasi dan kecakapan guru dalam mengajar. Pertama kalinya saat SMA, saya memasuki pendidikan negeri yang diakomodasi oleh pemerintah. Selama 3 tahun bersekolah, saya putuskan untuk tidak mengikuti pendidikan dengan baik. 

Hanya sebatas datang tanpa membawa telinga dan pikiran. Ini tidak lepas dari observasi saya melihat tidak adanya guru yang memumpuni dalam mengakomodir intelektualitas siswa. Birokrasi dan transparansi dana dalam institusi pendidikan tersebut juga bisa saya anggap buruk. Perihal uang sekolah, saya merasa tidak ada kejelasan dan transparansi keuangan yang rinci. Saya tidak ingin bercerita lebih mengenai buruknya sistem transparansi keuangan. Ini hanya sebatas opini dari pengalaman pendidikan saya semata jangan dianggap sebagai kebenaran yang general. 

Sejak saat itu, saya putuskan untuk lebih gaul dengan teman-teman sebaya saja. Sekolah hanya sebatas datang, pulang, dan bermain. Tidak ada ambisi membara untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Berbeda dengan kebanyakan orang di SMA yang berusaha sebaik mungkin di akademis guna masuk PTN ternama lewat jalur rapot. 

Saya putuskan untuk tidak mengambil jalan yang sama. Namun berbeda dengan waktu di SMP, keresahan saya terhadap dunia pendidikan hanya sebatas di pikiran saja, tidak tertuang dan terdengar ke pelaku utama di lingkungan sekolah. Sepertinya saat itu, saya terlihat masa bodo dengan dunia pendidikan.  Walaupun pada akhirnya anak yang sok kritis ini juga menjajaki bangku perkuliahan yang bukan ambisinya dahulu. 

Ya, di masa sekarang - di bangku perkuliahan - kebencian saya terhadap pendidikan malah berbalik menjadi sebuah kebutuhan wajib bagi saya. Berubahnya pemikiran tersebut tidak atas dasar adanya kejadian atau peristiwa titik balik yang hebat seperti dalam cerita fiksi. Semua berjalan mengalir. 

Bagi saya sekarang, rasa bersyukur selalu ada atas kesempatan pendidikan yang saya dapatkan dalam hidup. Pendidikan yang dahulu pikirkan sebagai jalan alternatif untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses, rasanya bukan esensi yang estetik dari pendidikan itu sendiri. Manusia memang dilahirkan untuk terdidik. Ia merangsang manusia untuk berpikir dan bertindak dengan semestinya. 

Pendidikan yang utama bagi saya adalah perihal menciptakan suatu kepribadian yang ideal dalam memandang permasalahan maupun peristiwa di luar diri sendiri. Cara berpikir yang logis dan terstruktur menciptakan pilihan atas tindakan yang bijaksana. Pendidikan juga membuat perspektif berpikir manusia tidak terkekang oleh dogmatisasi yang tidak mendasar. Uniknya, semejak bertambah dewasa, ketika saya berusaha memikirkan sesuatu maka akan muncul antitesis dari pemikiran tersebut dan begitu seterusnya. 

Jika dengan diri saya sekarang mengomentari apa yang saya pikirkan dahulu, saya akan berkata bahwa saya terlalu naif untuk berbicara dan berpikir hal yang demikian. Bagi saya sekarang, jika anda melihat kebobrokan dalam suatu sistem pendidikan, keluarlah dan buat sebagaimana menurut anda ideal. Nyatanya, saya hanya manusia hipokrit yang kritis tanpa adanya aksi yang konkrit. Saat itu, saya hanya manusia dengan ilmu seadanya, mengkritisi sebuah sistem, namun makan juga dari sistem yang saya kritisi. 

Bukan dalam arti saya sudah berdamai dengan sistem pendidikan. Memang perlu ada evaluasi dan kritik guna menciptakan aset intelektualitas bangsa yang lebih bermutu. Namun, perlu ada aksi walaupun setitik air yang bisa dikontribusikan dalam membangun idealnya sistem pendidikan di Indonesia. 

Pemikiran mengenai pentingnya pendidikan ini juga tidak lepas dari cerita kehidupan ayah saya. Seorang miskin dari desa kecil yang menjadi satu-satunya sarjana di antara 9 saudaranya. Ia tukarkan tanah sepetak untuk membayar kesempatan duduk di ruang kelas universitas. Dan dari gelarnya, ia turunkan ilmunya kepada anak di sekolahan kota dan kepada anaknya sendiri. Ia jadi tumpuan kakak-kakanya dan keluarga kecilnya. Lewat pendidikan, ia putarkan nasib hidupnya dahulu dan ciptakan sebagaimana menurutnya ideal. Itulah alasan dahulu kadang kala saya kesal ketika Ia terlalu berisik mengenai pentingnya pendidikan. 

Bagi saya sekarang, narasi mengenai idealnya suatu pendidikan memang selalu terkesan glamour dan berlebihan. Namun, bila narasi itu tidak masuk dalam daftar pilihan hidup anda, silakan untuk anda mengeliminasi dan merumuskan sebagaimana bagi anda masuk akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun