Bagi saya sekarang, rasa bersyukur selalu ada atas kesempatan pendidikan yang saya dapatkan dalam hidup. Pendidikan yang dahulu pikirkan sebagai jalan alternatif untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses, rasanya bukan esensi yang estetik dari pendidikan itu sendiri. Manusia memang dilahirkan untuk terdidik. Ia merangsang manusia untuk berpikir dan bertindak dengan semestinya.Â
Pendidikan yang utama bagi saya adalah perihal menciptakan suatu kepribadian yang ideal dalam memandang permasalahan maupun peristiwa di luar diri sendiri. Cara berpikir yang logis dan terstruktur menciptakan pilihan atas tindakan yang bijaksana. Pendidikan juga membuat perspektif berpikir manusia tidak terkekang oleh dogmatisasi yang tidak mendasar. Uniknya, semejak bertambah dewasa, ketika saya berusaha memikirkan sesuatu maka akan muncul antitesis dari pemikiran tersebut dan begitu seterusnya.Â
Jika dengan diri saya sekarang mengomentari apa yang saya pikirkan dahulu, saya akan berkata bahwa saya terlalu naif untuk berbicara dan berpikir hal yang demikian. Bagi saya sekarang, jika anda melihat kebobrokan dalam suatu sistem pendidikan, keluarlah dan buat sebagaimana menurut anda ideal. Nyatanya, saya hanya manusia hipokrit yang kritis tanpa adanya aksi yang konkrit. Saat itu, saya hanya manusia dengan ilmu seadanya, mengkritisi sebuah sistem, namun makan juga dari sistem yang saya kritisi.Â
Bukan dalam arti saya sudah berdamai dengan sistem pendidikan. Memang perlu ada evaluasi dan kritik guna menciptakan aset intelektualitas bangsa yang lebih bermutu. Namun, perlu ada aksi walaupun setitik air yang bisa dikontribusikan dalam membangun idealnya sistem pendidikan di Indonesia.Â
Pemikiran mengenai pentingnya pendidikan ini juga tidak lepas dari cerita kehidupan ayah saya. Seorang miskin dari desa kecil yang menjadi satu-satunya sarjana di antara 9 saudaranya. Ia tukarkan tanah sepetak untuk membayar kesempatan duduk di ruang kelas universitas. Dan dari gelarnya, ia turunkan ilmunya kepada anak di sekolahan kota dan kepada anaknya sendiri. Ia jadi tumpuan kakak-kakanya dan keluarga kecilnya. Lewat pendidikan, ia putarkan nasib hidupnya dahulu dan ciptakan sebagaimana menurutnya ideal. Itulah alasan dahulu kadang kala saya kesal ketika Ia terlalu berisik mengenai pentingnya pendidikan.Â
Bagi saya sekarang, narasi mengenai idealnya suatu pendidikan memang selalu terkesan glamour dan berlebihan. Namun, bila narasi itu tidak masuk dalam daftar pilihan hidup anda, silakan untuk anda mengeliminasi dan merumuskan sebagaimana bagi anda masuk akal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H