Jam dinding berdentang satu kali. Pertanda waktu sudah dini hari. Nyatanya Aku belum bisa rebahkan diri untuk tidur. Terlalu berat beban yang terpikir di otak ini. Ya, berpikir tentang sikap apa yang harus Aku lakukan pagi nanti.
Tanganku masih memegang erat sebuah pena hitam. Sedari tadi hanya Aku pakai mencorat-coret kertas HVS. Sesekali Aku menggambar wajah. Sesekali Aku hanya membuat garis-garis yang saling terhubung. Tapi tak terhenti pula saat Aku membuat goresan ujung pena dengan garis-garis yang tak beraturan. Seperti rumitnya masalah yang tengah Aku pikirkan.
Seingatku, sudah lebih dua jam Aku terpaku. Memegang sebuah pena dan menggoreskan ujungnya diantara kertas putih berlembar-lembar. Sepertinya otak ini enggan berpikir. Selaras dengan hati yang penuh beban lagi kalut.
"Mengapa mereka munafik lagi buta hati?" tulisku sekalimat yang masih tampak di atas kertas. Rasa tanya lagi penasaran itu, menguap begitu saja dibenakku. Ya, Aku merasakan sebuah kepedihan atas sikap, ucapan, dan perilaku orang-orang ditempat kerja Ku.
Sekarang kucoba mengingat sebuah kejadian dalam seminggu ini. Kugali dengan mudah daya ingatku atas sebuah peristiwa ditempat kerja. Senyuman orang-orang disekitarku, tak lebih dari sikap kepura-puraan. Senyum mereka hambar. Pandangan mata mereka penuh kecurigaan dan cenderung berbentuk hinaan.
Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka. Aku hanya tahu, bila celotehan Ku beberapa hari ini, dinilai mengganggu kenyamanan mereka. Padahal, sudah cukup bukti untuk dijadikan renungan akan sebuah kesalahan. Tapi nyatanya mereka biasa-biasa saja dan bahkan menilai Ku sebagai seorang perusuh ditempat kerja.
Sejenak kutajamkan pandangan pada hiasan dinding kamar. Tertempel sebuah pigora dengan hiasan artistik seperti profesiku. Tertulis jelas dalam pigora sebuah kata pujian dan doa. "Selamat Hari Guru dan Semoga Menjadi Guru Sejati Bagi Kami Anak-Anak Didik Anda!"
Satu kalimat yang berat dan besar maknanya. Itu pun bila seseorang mampu menafsirkan susunan kata-katanya. Ditambah lagi nilai filosofis dalam peringatan Hari Guru. Seperti tersengat lebah madu, seketika pikiran dan hati Ku pun tersambung. Sinyalnya bagus dan akhirnya mampu menggerakkan pena yang kupegang.
"Mengapa Aku harus menjadi guru?"
"Apa yang ingin Aku temukan saat jadi guru?"
"Bagaimana bila Aku tak mampu mendidik anak-anak didik Ku?"
"Kenapa jadi guru harus serumit ini dalam hidup di sekolah?"
"Mengapa terlihat banyak guru yang tak peduli pada sekolahnya?"
"Ironis, tak sedikit guru yang bergaya hidup borjuis. Mengapa?"
"Haruskah jadi guru harus seperti sosok dewa yang serba tahu?"
Goresan pena Ku terus mengukir kertas HVS. Terus memacu pikir dan hatiku tiada henti bertanya. Ya, kehidupan guru yang terkadap ironis dan jauh dari tujuan mendidik. Tak sedikit pula, diantara mereka berkelompok dan mengkerdilkan orang lain. Padahal dengan bersikap seperti itu, justru mereka lebih bodoh dari yang diumpatkannya.
Kini, teringat saat Aku mencoba berdiskusi ala ngopi dengan beberapa teman guru. Diantara mereka ada yang berbicara sangat sombong. Masih ada diantara mereka yang mencoba pamerkan kekayaan. Tapi ada pula sosok guru yang idealis dan justru dianggap "penyakit" oleh sebagai teman-temannya di sekolah.
"Mungkinkah sosok guru yang seharusnya digugu (jadi panutan) dan ditiru (jadi contoh), sudah sirna dibenak meraka?" tanya Ku dalam hati.
Pertanyaan-pertanyaan berbeda lainnya, sepertinya terus mengalir di kepala Ku. Menggiring nurani agar mampu menjadi guru sejati. Ya, sebuah keinginan agar mampu menjadi suri tauladan bagi para murid di sekolah.
Bagi Ku, guru bukanlah profesi dan pekerjaan yang ringan. Anak-anak didik akan berhasil bila didukung guru yang tangguh, teguh, tegar dan peduli. Bila ada guru yang masih skeptis, merasa paling benar, dan gila hormat, sebaiknya tanggalkan segera profesi itu. Pahami kondisi anak didik dengan pikiran dan hati. Lalu tunjukkan jalan terbaik bagi meraka untuk meraih masa depan.
Dulu, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sekarang, guru adalah sosok pekerja yang menjalani profesinya dengan banyak imbal jasa. Namun, justru disitulah terlihat kian runtuh dan rendahnya pemikiran dan mental guru.
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan, sejatinya telah memberi wejangan yang kuat akan profesi guru maupun prinsip kepemimpinan. Hanya saja, guru kini hanya mampu membaca, mengingat dan menebarkan kata-kata wejangan Ki Hajar Dewantara. Para guru lebih giat dan ambisius untuk mengejar tanda dan imbal jasa atas apa yang dilakukannya.
Ing ngarso sung tulodho (didepan memberi teladan atau contoh), Ing madyo mangun karso (ditengah membangun atau memberikan semangat, motivasi), dan tut wuri handayani (dibelakang memberikan dorongan dan turut memiliki). Semboyan untuk guru dari Bapak Pendidikan kita.
Aku berpikir keras memahami itu dengan pena yang kupegang. Faktanya, banyak guru yang lebih mengejar imbal jasa, jabatan, dan bahkan populis dengan banyak cara. Tapi mereka lupa, bahwa anak-anak didiknya sangat membutuhkan implementasi faktual atas semboyan Ki Hajar Dewantara.
Kini, Aku hanya mampu melakukan instrospeksi diri. Melalui pena yang kupegang, kutuliskan bila guru yang diidamkan anak didik adalah guru sejati. Pastinya guru sejati dan sejatinya guru. Mental dan moral guru harus dijadikan cerminan untuk majunya pendidikan. Bukan mental guru yang serba berharap imbal jasa dan moral guru yang merasa nyaman dengan status dan profesinya.
Semoga Aku mampu menjadi guru sejati dan sejatinya guru bagi anak-anak Ibu Pertiwi. Kecerdasan sosial guru menjadi pendorong kuatnya anak didik dalam menghadapi tantangan masa depannya. Guru harus tahu! Guru harus lebih peduli dan bukan menjadi penghias profesi dengan segenap keangkuhannya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H