Ironis bukan? Bila para pelaku pendidikan di sekolah, apalagi berstatus aparatur sipil Negara (ASN/PNS) sebagai biang keroknya. Niscaya pendidikan akan bobrok dan jauh dari kualitas pendidikan sejati. Bila sebuah sekolah terdapat perbuatan yang indikasinya masuk TPK, jelas oknum di sekolah itu tak layak menjadi pemimpin dan pendidik generasi bangsa ini.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan penulis selama menjadi pegiat pendidikan, terdapat minimal 5 (lima) bentuk TPK yang rutin terjadi dan dijalankan di sekolah. Mulai dari (1) masa penerimaan peserta didik baru (PPDB); (2) pengadaan seragam; (3) pungutan biaya daftar ulang; (4) pungutan biaya dana awal tahun (dana komite); hingga (5) penggunaan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) dan sejenisnya.
Pada kesempatan ini, penulis akan memberikan gambaran fakta teknis indikasi TPK yang biasa terjadi di sekolah. Tujuannya, agar pemangku kebijakan pendidikan lebih mampu menciptakan sistem yang akuntabel untuk monitoring dan evaluasi dana pendidikan. Sehingga tidak muncul tuduhan maupun meng-kambinghitamkan waktu dan kondisi sebagai sumber terjadinya TPK disekolah.
Â
KASUS SERAGAM SEKOLAH
Pengadaan seragam sekolah pada jenjang pendidikan SMA/SMK sederajat, merupakan hasil dari sebuah kebijakan. Bukan terlahir karena kemauan kebutuhan riil orangtua/walimurid. Secara rasionalisasi ekonomi, pengadaan seragam sekolah merupakan bentuk pengadaan barang bagi jajaran pelaku pemerintahan.
Guna pemahaman proses pengadaan kain seragam sekolah, tentunya secara prediktif dapat dijelaskan kronologisnya. Tahapan-tahapan kronologis itulah yang selama ini kurang dipahami masyarakat. Bagaimana pun, kondisi itu terjadi lantaran sistem yang buruk dan indikasi oknum bermental dan bermoral buruk pula.
Awalnya, pengadaan seragam sekolah ini tentu didahului dengan sebuah perjanjian usaha atau biasa disebut dengan memorandum of understanding (MoU) antara pemerintah dengan pengusaha tekstil. Berawal dari sinilah indikasi TPK sudah terjadi. Perusahaan tekstil yang memenangkan tender pengadaan kain seragam, tentu memiliki cara tersendiri agar dapat memenangkan tender.
Setelah memenangkan tender, alurnya perusahaan tekstil akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan selaku pemilik otoritas kebijakan dan distribusi kain seragam. Pada tahapan ini, tentu saja ada indikasi terjadinya suatu bentuk kesepakatan. Ya, kesepakatan di atas meja dan kesepakatan di bawah meja. Dari proses ini, tentu saja akan menambah masalah yang akan muncul di permukaan.
Bilamana urusan dengan pemilik otoritas usai, maka tindakan selanjutnya adalah koordinasi se-visi dan se-misi dengan seluruh jajaran yang dinaunginya. Jajaran itu adalah Cabang Dinas Pendidikan di Kabupaten dan Kota, Kepala Sekolah, dan Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKK). Pada koordinasi ini dapat diprediksi bila kesimpulan akhirnya adalah kesepakatan harga atas kain seragam yang akan diperjual-belikan pada walimurid.