Mohon tunggu...
Yuswanto Raider
Yuswanto Raider Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru dan penulis lepas yang lahir di Surabaya pada 14 Februari 1974. Sejak tahun 2005 saya tinggal di Desa Kembangsri Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto

Hobi saya merawat tanaman, traveling, outdoor learning, dan advokasi kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah, Benarkah Menjadi Sarang Koruptor? (Bagian #1)

2 Agustus 2023   02:30 Diperbarui: 2 Agustus 2023   03:04 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DARURAT: Butuh gerakan bersama Anti Korupsi di sekolah. (Sumber Foto: Istimewa/Dokumen Pribadi)

Viralnya penjualan seragam sekolah yang dinilai terlalu mahal di Jawa Timur, merupakan aib menyedihkan dunia pendidikan. Meskipun kejadian seperti itu bukanlah untuk yang kali pertama terjadi dan tidak hanya di Jawa Timur saja. Sejak lama fakta fenomenal seperti itu terjadi dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah.

Terungkapnya fakta jual beli seragam itu, hanyalah secuil indikasi tindak pidana korupsi (TPK) di sekolah. Ironisnya, kondisi seperti itu terjadi ditengah gencarnya implementasi kurikulum merdeka dan penguatan profil pelajar Pancasila.

Lantas, pertanyaan esensialnya, bagaimana kondisi psikis peserta didik dapat berkualitas, sedangkan pelaku dan tata kelolah di sekolah terbilang korup?

Pertanyaan itu silahkan dijawab sesuai dengan sistem, pola pikir, dan kebijakan yang melekat pada institusi pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Bagaimana pun, institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksanan, dan unit tindak pidana korupsi (Tipidkor) Polri, sudah banyak melakukan terobosan-terobosan penyadaran.

DEMI ANAK: Komitmen bersama harus digali mendalam untuk hindari perilaku Korup di sekolah (Sumber Foto: Ilustrasi/Yuswanto Raider)
DEMI ANAK: Komitmen bersama harus digali mendalam untuk hindari perilaku Korup di sekolah (Sumber Foto: Ilustrasi/Yuswanto Raider)

POLA PIKIR

Sebelum membahas sekolah sebagai sarang TPK, perlu kiranya dipahami dasar hukum seputar TPK. Bagaimana pun, pola pikir yang kuat akan didasari dengan rasionalisasi antara dasar hukum dan fakta yang dihadapi. Seseorang melanggar atau menghindar, tergantung kecerdasan dan kepeduliannya untuk bangsa dan Negara ini.

"Korupsi yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara." (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999)

Berpijak pada pengertian itu, pada UU 31/1999 dan UU 20/2001, tindakan korupsi terdiri dari 30 (tiga puluh) bentuk. Ketigapuluh bentuk itulah yang selama ini berkembang dan terjadi di Indonesia. (KPK : Memahami Untuk Membasmi. Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, 2006 : 15)

Meskipun demikian, merujuk pada fakta dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah, beberapa spesifikasi indikasi TPK sangatlah jelas. Bentuk tindakan yang biasa terjadi di antaranya adalah kolusi, suap menyuap, mark-up anggaran, pemalsuan penggunaan dana dan data anggaran, hingga penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan individu atau oknum pejabat tertentu.

Ironis bukan? Bila para pelaku pendidikan di sekolah, apalagi berstatus aparatur sipil Negara (ASN/PNS) sebagai biang keroknya. Niscaya pendidikan akan bobrok dan jauh dari kualitas pendidikan sejati. Bila sebuah sekolah terdapat perbuatan yang indikasinya masuk TPK, jelas oknum di sekolah itu tak layak menjadi pemimpin dan pendidik generasi bangsa ini.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan penulis selama menjadi pegiat pendidikan, terdapat minimal 5 (lima) bentuk TPK yang rutin terjadi dan dijalankan di sekolah. Mulai dari (1) masa penerimaan peserta didik baru (PPDB); (2) pengadaan seragam; (3) pungutan biaya daftar ulang; (4) pungutan biaya dana awal tahun (dana komite); hingga (5) penggunaan dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) dan sejenisnya.

Pada kesempatan ini, penulis akan memberikan gambaran fakta teknis indikasi TPK yang biasa terjadi di sekolah. Tujuannya, agar pemangku kebijakan pendidikan lebih mampu menciptakan sistem yang akuntabel untuk monitoring dan evaluasi dana pendidikan. Sehingga tidak muncul tuduhan maupun meng-kambinghitamkan waktu dan kondisi sebagai sumber terjadinya TPK disekolah.

TERGADAIKAN: Masa depan generasi bangsa pasti suram bilamana di sekolah jadi sarang koruptor. (Sumber Foto: Ilustrasi Karya M Latief/Kompas.com)
TERGADAIKAN: Masa depan generasi bangsa pasti suram bilamana di sekolah jadi sarang koruptor. (Sumber Foto: Ilustrasi Karya M Latief/Kompas.com)
 

KASUS SERAGAM SEKOLAH

Pengadaan seragam sekolah pada jenjang pendidikan SMA/SMK sederajat, merupakan hasil dari sebuah kebijakan. Bukan terlahir karena kemauan kebutuhan riil orangtua/walimurid. Secara rasionalisasi ekonomi, pengadaan seragam sekolah merupakan bentuk pengadaan barang bagi jajaran pelaku pemerintahan.

Guna pemahaman proses pengadaan kain seragam sekolah, tentunya secara prediktif dapat dijelaskan kronologisnya. Tahapan-tahapan kronologis itulah yang selama ini kurang dipahami masyarakat. Bagaimana pun, kondisi itu terjadi lantaran sistem yang buruk dan indikasi oknum bermental dan bermoral buruk pula.

Awalnya, pengadaan seragam sekolah ini tentu didahului dengan sebuah perjanjian usaha atau biasa disebut dengan memorandum of understanding (MoU) antara pemerintah dengan pengusaha tekstil. Berawal dari sinilah indikasi TPK sudah terjadi. Perusahaan tekstil yang memenangkan tender pengadaan kain seragam, tentu memiliki cara tersendiri agar dapat memenangkan tender.

SUDAH TAHU?: Suasana sosialisasi Pendidikan Anti Korupsi yang dIlaksanakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk para Kepala Sekolah (Sumber Foto: dindik.jatimprov.go.id)
SUDAH TAHU?: Suasana sosialisasi Pendidikan Anti Korupsi yang dIlaksanakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk para Kepala Sekolah (Sumber Foto: dindik.jatimprov.go.id)

Setelah memenangkan tender, alurnya perusahaan tekstil akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan selaku pemilik otoritas kebijakan dan distribusi kain seragam. Pada tahapan ini, tentu saja ada indikasi terjadinya suatu bentuk kesepakatan. Ya, kesepakatan di atas meja dan kesepakatan di bawah meja. Dari proses ini, tentu saja akan menambah masalah yang akan muncul di permukaan.

Bilamana urusan dengan pemilik otoritas usai, maka tindakan selanjutnya adalah koordinasi se-visi dan se-misi dengan seluruh jajaran yang dinaunginya. Jajaran itu adalah Cabang Dinas Pendidikan di Kabupaten dan Kota, Kepala Sekolah, dan Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKK). Pada koordinasi ini dapat diprediksi bila kesimpulan akhirnya adalah kesepakatan harga atas kain seragam yang akan diperjual-belikan pada walimurid.

Ketika kesimpulan itu sudah disepakati, maka otoritas sudah berpindah tangan. Kekuasaan penuh penentuan harga jual seragam sudah berada ditangan kepala sekolah. Hanya saja, agar lebih terlihat demokratis, maka dilibatkanlah pengurus Koperasi diinternal sekolah. Tak hanya itu, dalih yang muncul, pengadaan seragam ini juga menjadi kelanjutan atas proses PPDB di sekolah yang bersangkutan.

Ada satu pertanyaan krusial yang patut diluncurkan atas keberadaan koperasi di sekolah. Apakah koperasi itu koperasi para guru dan karyawan sekolah, atau koperasi siswa? Sebab, bila yang mendistribusikan dan yang menjual seragam itu koperasi guru dan karyawan sekolah, tentunya sangat dibutuhkan dasar hukum. Hal itu berhubungan dengan badan hukum koperasi. Disinilah yang sejauh ini tidak dijelaskan dalam pendistribusian dan jual beli seragam sekolah.

Unsur tersembunyi lainnya yang patut dicermati, adalah keberagaman harga seragam sekolah yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Dapat dipastikan terjadi selisih nilai dengan berbagai dalih dan untuk kepentingan tertentu. Rana inilah yang tidak dicermati para pemangku kebijakan tertinggi dalam sistem pendidikan ditingkat provinsi.

Bagaimana pun, unsur kepentingan individu kepala sekolah sangat mendominasi dalam penentuan harga jual seragam sekolah. Logikanya, dalam sebuah sekolah, jabatan tertinggi dan sekaligus berresiko adalah kepala sekolah. Sementara untuk bisa "duduk" sebagai sosok kepala sekolah sangat jelas dan terang membutuhkan modal yang tidak sedikit serta bervariasi.

Fenomena faktual prediktif itulah yang menjadi pemicu munculnya harga jual seragam sekolah terlalu mahal bila dibandingkan dipasaran. Penyebabnya sangat jelas, yaitu banyaknya kepentingan mengeruk keuntungan pribadi yang melekat pada kebijakan dalam rana politik pendidikan. Yakin atau tidak, fakta itu menjadi sebuah "budaya" yang menghambat kemajuan dan peningkatan kualitas pendidikan.

KORBAN KORUPSI?: Apakah pelajar-pelajar seperti ini akan terus menjadi korban perilaku korupsi di sekolah? (Sumber Foto: Yuswanto Raider)
KORBAN KORUPSI?: Apakah pelajar-pelajar seperti ini akan terus menjadi korban perilaku korupsi di sekolah? (Sumber Foto: Yuswanto Raider)

Kronologi taktis yang dijelaskan di atas, minimal menjadi pemicu munculnya harga seragam sekolah yang mahal. Sistem dan kebijakan semacam inilah yang harus diusut tuntas dan tegas. Jangan karena dalih kepentingan dan keuntungan sekelompok orang, maka orangtua/walimurid menjadi korban. Ironisnya, fakta seperti itu tak seharusnya terjadi dalam lingkup sekolah.

Sementara, sedikit gambaran prediktif itu yang bisa dijelaskan penulis. Bagaimana pun, di tiap tahapan kronologis itu pasti ditemukan indikasi TPK. Terjadi atau tidak terjadi di sekolah, semua tergantung dari kejujuran dan amanah para pejabat dalam melaksanakan tupoksinya sebagai ASN/PNS. Ingatlah, bila keluarga dihidupi dengan sumber yang diambil dari tindakan korup, maka selain hukum akhirat, hukum karma juga berlaku.

Semoga apa yang dijelaskan penulis, tidak pernah dilakukan para pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini. Sehingga semangat yang ditinggalkan Ki Hajar Dewantara tentang dipegang teguh demi kemaslahatan manusia, masyarakat, bangsa dan Negara kita. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun