Mohon tunggu...
Yusuf Siswantara
Yusuf Siswantara Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik dan Pemerhati Pendidikan

Menyukai penelitian dan pendidikan nilai dan karakter

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebenaran dalam Bayangan

28 Agustus 2024   13:22 Diperbarui: 28 Agustus 2024   13:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah gemuruh kota yang tak lagi dikenalnya, Malik duduk di kursi kayu yang keras. Ruangan di sekelilingnya sunyi, hanya diisi oleh detak jarum jam yang terdengar begitu lambat. Keringat mengalir di pelipisnya, meskipun malam sudah begitu larut. Pikirannya berputar-putar, kembali ke masa yang tak ingin ia ingat, masa yang menyimpan kebenaran paling gelap dalam hidupnya.

Malam itu, dua puluh tahun yang lalu, adalah malam yang tak pernah bisa ia lupakan. Tahun 1998, Jakarta menyala dalam kekacauan. Reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa untuk menjatuhkan rezim Orde Baru sudah mencapai puncaknya. Suasana yang dulu dipenuhi oleh ketidakpuasan dan kebencian kini bertransformasi menjadi kebengisan yang tak terkendali. Malik saat itu hanyalah seorang perwira muda dalam kesatuan khusus yang ditugaskan untuk menjaga keamanan negara. Tapi malam itu, ia belajar bahwa terkadang menjaga keamanan berarti menghancurkan hidup seseorang.

Malik ingat bagaimana ia dan timnya bergerak di bawah perintah yang tegas. Tangkap dan interogasi. Tak ada yang perlu dipertanyakan, tak ada yang perlu diragukan. Orang-orang yang mereka tangkap pada malam itu adalah mereka yang dicurigai terlibat dalam gerakan anti-pemerintah. Mereka adalah ancaman bagi stabilitas negara, dan negara tidak akan membiarkan ancaman itu berkembang lebih jauh.

Di sebuah gedung yang terisolasi di pinggir kota, Malik dan timnya membawa beberapa tahanan. Di antara mereka ada seorang perempuan muda, mungkin masih di usia awal dua puluhan. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan pakaian yang ia kenakan sudah sobek di beberapa bagian. Namanya Lin, seorang mahasiswa Tionghoa yang menjadi aktivis vokal dalam gerakan reformasi. Malik ingat bagaimana mata Lin menatapnya dengan ketakutan, tapi juga dengan kemarahan yang tak terselubung.

"Kenapa aku dibawa ke sini? Apa yang kalian inginkan?" tanya Lin dengan suara yang bergetar, meski ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya.

"Kami hanya butuh beberapa informasi, Lin. Jika kamu bekerja sama, semuanya akan selesai dengan cepat," jawab Malik, suaranya datar, tanpa emosi.

Lin tertawa kecut, menyadari ironi dalam kata-kata Malik. Ia tahu betul bahwa 'kerja sama' yang dimaksud bukanlah pilihan yang bisa ia terima dengan mudah. Malik pun tahu, apa yang akan terjadi malam itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lupakan, meskipun ia sangat menginginkannya.

Malam itu, ruangan interogasi menjadi saksi bisu bagaimana manusia bisa kehilangan kemanusiaannya. Suara jeritan Lin menggema di dalam ruangan, membuat Malik merasakan kepedihan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia melakukan tugasnya dengan tangan dingin, tapi di dalam hatinya, Malik mulai merasakan sesuatu yang tidak ia pahami---perasaan bersalah yang perlahan menggerogoti jiwanya.

Setelah jam-jam panjang yang penuh dengan penderitaan, Lin akhirnya terdiam. Tubuhnya terkulai lemah di kursi, dan Malik hanya bisa menatapnya tanpa bisa melakukan apa-apa. Di satu sisi, ia merasa lega karena interogasi berakhir, tetapi di sisi lain, ia merasa terperangkap dalam labirin moralitas yang rumit. Malik mencoba meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk kebaikan negara. Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa malam itu, ia telah menghancurkan kehidupan seorang manusia.

Pagi harinya, Lin dibawa pergi. Malik tidak tahu ke mana dia dibawa, dan ia tidak ingin tahu. Baginya, semakin sedikit yang ia ketahui, semakin mudah baginya untuk melupakan semua ini. Namun, bayangan wajah Lin yang terluka tetap menghantui pikirannya. Ia mencoba mengubur ingatan itu, tetapi setiap kali ia melihat ke cermin, bayangan Lin selalu ada di sana, menatapnya dengan penuh kebencian.

Waktu berlalu, dan Reformasi berhasil. Rezim Orde Baru jatuh, dan Indonesia memasuki era baru demokrasi. Malik memutuskan untuk meninggalkan kesatuan khusus dan memulai hidup baru sebagai warga sipil. Ia menikah, memiliki anak, dan mencoba untuk melupakan masa lalunya yang kelam. Tapi, tak peduli seberapa keras ia mencoba, masa lalu itu selalu berhasil kembali menghantuinya.

Suatu hari, sepuluh tahun setelah kejadian itu, Malik menerima surat tanpa nama. Surat itu hanya berisi satu kalimat: *Kebenaran akan selalu menemukan jalannya.* Malik merasa jantungnya berdetak lebih cepat, dan keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia tahu bahwa surat itu adalah peringatan, tetapi dari siapa? Dan tentang apa? Ia mencoba untuk mengabaikannya, tetapi surat-surat itu terus datang, satu per satu, dengan pesan yang semakin mendesak.

Malik tidak pernah berbicara tentang masa lalunya kepada siapa pun, termasuk istrinya. Ia mencoba melupakan semuanya, tetapi surat-surat itu membuatnya sadar bahwa masa lalunya belum benar-benar selesai. Ada sesuatu yang belum tuntas, sesuatu yang harus ia hadapi sebelum semuanya terlambat.

Suatu malam, ketika ia sedang memeriksa surat-surat itu, Malik menyadari sesuatu. Di setiap surat, ada tanda tangan kecil di sudut kanan bawah, sebuah inisial "L". Inisial itu membuat Malik teringat pada Lin, perempuan yang ia interogasi bertahun-tahun lalu. Namun, bagaimana mungkin? Lin seharusnya sudah lama meninggal. Tapi kenapa inisial itu terasa begitu familiar?

Pikiran Malik dipenuhi dengan pertanyaan. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Lin, berharap bisa menemukan jawaban. Setelah melakukan penyelidikan pribadi yang panjang dan melelahkan, Malik akhirnya menemukan sebuah artikel tua di arsip surat kabar lokal. Artikel itu menyebutkan nama Lin sebagai salah satu korban penghilangan paksa yang hingga kini belum ditemukan. Namun, di akhir artikel, ada pernyataan dari seorang saksi anonim yang mengklaim bahwa Lin mungkin masih hidup dan bersembunyi di luar negeri.

Harapan kecil menyelinap di hati Malik. Jika Lin masih hidup, mungkin ia bisa menebus dosanya. Mungkin, ia bisa meminta maaf dan berusaha memperbaiki kesalahan yang telah ia perbuat. Namun, bagaimana jika Lin menyimpan dendam? Bagaimana jika ia ingin membalas apa yang telah Malik lakukan?

Malik memutuskan untuk mencari Lin. Ia menggunakan semua sumber daya yang ia miliki untuk melacak keberadaannya. Setelah berbulan-bulan mencari, ia akhirnya mendapatkan informasi bahwa Lin mungkin tinggal di sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Dengan penuh tekad, Malik berangkat ke sana, meninggalkan keluarganya tanpa penjelasan.

Setibanya di kota kecil itu, Malik mulai mencari jejak Lin. Ia menemukan sebuah alamat yang kemungkinan adalah tempat tinggalnya. Dengan hati yang berdebar, Malik berjalan ke depan pintu rumah sederhana itu. Ia mengetuk pintu, dan ketika pintu terbuka, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan wajah yang tampak akrab, meskipun usianya sudah menua.

"Lin?" tanya Malik dengan suara bergetar. Perempuan itu memandangnya dengan tatapan dingin.

"Malik," jawab perempuan itu tanpa keraguan, seolah ia telah menunggu kedatangan Malik selama bertahun-tahun.

Mereka berdiri di sana dalam keheningan yang mencekam. Malik tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menatap Lin, yang dulu ia kenal sebagai seorang perempuan muda yang penuh semangat, kini telah berubah menjadi sosok yang berbeda, penuh dengan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.

"Aku tahu kamu akan datang suatu hari," kata Lin akhirnya. "Aku menunggu terlalu lama."

"Aku... aku minta maaf," kata Malik dengan suara bergetar. "Aku tidak bisa mengubah apa yang terjadi, tapi aku ingin menebusnya, jika itu memungkinkan."

Lin tertawa sinis. "Menebus? Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Luka yang kamu buat tidak akan pernah sembuh. Kamu menghancurkan hidupku, Malik. Kamu mengambil segalanya dariku."

Malik merasakan perasaan bersalah yang begitu dalam, lebih dalam dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki apa yang telah ia lakukan.

"Aku tidak meminta kamu untuk memaafkanku, Lin. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal, dari lubuk hatiku yang paling dalam," kata Malik akhirnya.

Lin memandangnya dengan tatapan yang penuh dengan kepahitan. "Kamu tahu, Malik, aku seharusnya membencimu. Aku seharusnya ingin kamu mati. Tapi, selama bertahun-tahun, aku menyadari sesuatu. Kebencian hanya akan menghancurkan diriku sendiri, bukan kamu. Jadi, aku memutuskan untuk melepaskan kebencian itu. Tapi itu tidak berarti aku memaafkanmu."

Malik merasa hatinya hancur. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki kesalahannya. Lin tidak akan pernah bisa kembali menjadi perempuan yang ia kenal dulu. Kehidupan mereka telah berubah selamanya, dan tidak ada jalan untuk kembali.

"Tapi, .... Malik, ada satu hal yang perlu kamu tahu," lanjut Lin dengan suara yang mulai bergetar. "Aku bukan satu-satunya yang menderita. Ada seseorang yang lebih menderita dari aku---anak kita."

Kata-kata itu menghantam Malik seperti pukulan yang tak terduga. Sejenak, ia merasa dunia di sekelilingnya berputar, dan ia hampir kehilangan keseimbangan. "Anak kita?" tanyanya dengan suara yang serak dan penuh ketidakpercayaan. "Apa maksudmu?"

Lin menatap Malik dengan tatapan yang tak bisa diterjemahkan, campuran antara kepedihan dan kemarahan yang membara. "Kamu tidak pernah tahu, bukan? Kamu tidak pernah berpikir bahwa tindakanmu malam itu akan membawa konsekuensi sebesar ini. Tapi ya, Malik. Aku hamil setelah malam itu. Kamu menghancurkan hidupku dan hidup anak kita."

Malik terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah yang menyesakkan. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa tindakan yang ia lakukan dalam kegelapan malam itu akan membawa kehidupan yang lain---anak yang tidak pernah ia kenal, tidak pernah ia pikirkan. Perasaan bersalahnya yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam kini meledak menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan.

"Aku... Aku tidak tahu, Lin. Aku benar-benar tidak tahu," ucap Malik dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia merasa tubuhnya gemetar, pikirannya kacau balau. "Di mana dia sekarang? Apa yang terjadi padanya?"

Lin memandang Malik dengan tatapan penuh kepahitan. "Dia tidak pernah tahu siapa ayahnya. Dan aku berusaha keras untuk melindunginya dari masa lalu yang kelam. Kami hidup dalam pelarian, selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencoba menghindari bayangan masa lalu yang selalu mengejar kami."

Malik ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokannya. Lin, yang kini berdiri di depannya, bukan lagi perempuan yang ia kenal dua puluh tahun lalu. Dia adalah seorang ibu yang telah berjuang sendirian, membesarkan anaknya di bawah bayang-bayang masa lalu yang penuh trauma. Rasa sakit dan penderitaan yang dirasakannya begitu nyata, dan Malik tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya.

Lin melanjutkan, suaranya penuh emosi yang terpendam, "Setiap kali dia bertanya tentang ayahnya, aku hanya bisa memberitahunya bahwa ayahnya adalah seorang yang berbahaya, seorang yang tidak boleh dia temui. Tapi, bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa ayahnya adalah pria yang menghancurkan hidup ibunya? Bagaimana aku bisa memberitahu bahwa dia adalah hasil dari malam yang penuh kebencian dan penderitaan?"

Air mata mengalir di pipi Lin, dan Malik merasa hatinya semakin hancur. Ia ingin menyentuh Lin, ingin memeluknya, tapi ia tahu bahwa itu tidak akan pernah bisa memperbaiki luka yang telah ia buat. "Aku ingin bertemu dengannya, Lin. Aku ingin melihat anak kita," katanya dengan suara yang penuh penyesalan.

Lin menggelengkan kepala, dengan tatapan yang tegas. "Tidak, Malik. Kamu sudah cukup menghancurkan hidup kami. Aku tidak akan membiarkan kamu menyakiti dia juga."

"Aku tidak ingin menyakitinya, Lin. Aku hanya ingin melihatnya, mengenalnya. Aku ingin mencoba menebus kesalahanku," ujar Malik, meskipun ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa benar-benar mengubah apa yang telah terjadi.

Lin menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke arah horison yang tak terlihat. "Kamu ingin menebus kesalahanmu? Kamu tidak bisa, Malik. Apa yang terjadi sudah terjadi, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Anak kita tidak membutuhkan ayah seperti kamu. Dia hanya membutuhkan kedamaian, jauh dari bayangan masa lalu."

Malik terdiam, memahami bahwa harapannya untuk memperbaiki sesuatu yang sudah rusak begitu parah adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi, di dalam hatinya, ia merasa bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ada sesuatu yang masih bisa ia lakukan, sesuatu yang mungkin bisa memberikan sedikit kedamaian bagi anaknya, bagi Lin, dan mungkin, bagi dirinya sendiri.

"Lin," kata Malik dengan suara yang penuh ketulusan, "Aku tahu aku tidak bisa memperbaiki masa lalu. Aku tahu aku tidak bisa menebus semua yang sudah terjadi. Tapi, izinkan aku untuk setidaknya membantu kamu dan anak kita. Aku akan pergi, jika itu yang kamu inginkan, tetapi aku akan meninggalkan sesuatu yang bisa memberikan kalian kehidupan yang lebih baik."

Lin memandang Malik dengan tatapan skeptis, tetapi ada keraguan yang muncul di matanya. "Apa yang bisa kamu berikan yang bisa menghapus semua ini, Malik? Tidak ada uang atau bantuan yang bisa mengembalikan apa yang sudah hilang."

"Tidak, aku tidak berusaha menghapus atau menggantikan apa yang sudah hilang. Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu dan anak kita tidak lagi hidup dalam ketakutan. Aku punya sumber daya, Lin. Aku bisa memastikan kalian tidak lagi harus berpindah-pindah, bahwa kalian bisa hidup dengan tenang. Itu mungkin tidak banyak, tapi itu adalah yang bisa aku lakukan."

Lin terdiam, mempertimbangkan tawaran itu. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi tawaran Malik mungkin bisa memberikan anaknya masa depan yang lebih baik, tanpa harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan.

"Kami akan pergi dari sini, Malik. Dan setelah itu, kamu tidak akan pernah mencoba mencari kami lagi. Biarkan kami hidup dengan tenang, tanpa kamu."

Malik mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memberikan sedikit keadilan bagi Lin dan anaknya. "Aku berjanji, Lin. Aku tidak akan pernah mencari kalian lagi. Tetapi, jika suatu hari dia ingin mengetahui tentangku, aku akan selalu ada untuknya."

Lin tidak menjawab, ia hanya berbalik dan mulai berjalan menuju rumahnya. Malik berdiri di sana, menatap punggung Lin yang semakin menjauh, merasakan beban besar yang tak mungkin bisa ia lepaskan. Ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar, tetapi kesadaran itu tidak menghapus rasa bersalah yang selama ini menghantuinya.

Malam itu, Malik kembali ke hotelnya dan menulis surat panjang kepada anaknya, surat yang penuh dengan penyesalan dan harapan. Ia tidak tahu apakah surat itu akan pernah sampai ke tangan anaknya, tetapi ia tahu bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk mencoba menebus dosanya. Setelah menulis surat itu, Malik menyiapkan segala hal untuk keberangkatan Lin dan anak mereka. Ia tahu bahwa ini adalah terakhir kalinya ia akan berusaha memperbaiki kesalahan yang telah ia buat.

Beberapa hari kemudian, Malik menerima kabar bahwa Lin dan anak mereka telah berangkat ke tempat yang lebih aman, ke tempat di mana mereka bisa memulai hidup baru. Malik hanya bisa berharap bahwa mereka akan menemukan kedamaian yang selama ini mereka cari.

Malik tidak pernah mendengar kabar dari Lin atau anaknya lagi setelah itu. Tetapi, ia selalu menyimpan surat yang ia tulis, berharap suatu hari anaknya akan membacanya dan mengerti. Malik menjalani sisa hidupnya dengan beban rasa bersalah yang tidak pernah hilang, tetapi dengan keyakinan bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi anaknya, bahkan jika itu berarti menghilang dari hidup mereka selamanya.

Dalam bayang-bayang malam yang sunyi, Malik tahu bahwa kebenaran selalu akan menemukan jalannya. Dan meskipun kebenaran itu pahit, ia berharap bahwa pada akhirnya, anaknya akan menemukan jalan menuju kedamaian yang tidak pernah ia dapatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun