Mohon tunggu...
YUSUFIbrahim
YUSUFIbrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Setidaknya saya menulis.

30 tahun bercinta dengan industri kreatif gambar dan suara di televisi, kini tiba waktunya pulang pada cinta pertama di dunia kreatif, yakni menulis. IG: @hajiyusufi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Keniscayaan ASO dan STB Gratis

29 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 30 Maret 2022   13:07 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digitalisasi, migrasi tv. (sumber: DOK. SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Sebagai orang TV yang hampir 30 tahun menjadi pramusaji program berita dan tayangan olahraga di TV, datangnya teknologi digital di dunia penyiaran itu memudahkan dan menguntungkan.

Memudahkan karena pekerjaan bisa lebih praktis dan simple. Menguntungkan karena waktu jadi efisien dan kerja cepat kelar.

Itu penulis rasakan sendiri. Bagaimana teknologi analog yang awalnya masih memaksa wara-wiri kesana-kemari dalam berproduksi, diatasi oleh digitalisasi yang lebih memanjakan karena lebih banyak duduk dibelakang komputer berjaringan saat proses produksi.

Itu sedikit cerita tentang produksi kerja digital. Siaran digital. Belum pada TV digital. TV yang akan dimasalkan dimiliki pemirsa dirumah-rumah dan untuk sementara pakai Set Top Box (STB) dulu bagi yang masih analog. 

Analog Switch Off (ASO) adalah sebuah keniscayaan. Siaran digital dan TV digital harus sejalan. 

Siaran digital adalah siaran televisi yang menggunakan modulasi sinyal digital dengan sistem kompresi yang akan menghadirkan kualitas gambar yang lebih bersih dan suara yang lebih jernih.

TV digital adalah unit atau perangkat televisi yang mampu menerima sinyal digital yang dipancarkan televisi pemancar modulasi sinyal digital.

Begitulah sederhananya, perbedaan antara siaran digital dan TV digital.

Dalam perjalanannya yang digitalisasi itu produksi siarannya dulu. Infrastruktur siaran milik  lembaga penyiaran. Baru kemudian penerima siaran. Yaitu unit TV pemirsa dimanapun berada. Itulah mengapa ada proses transisi, switching dan migrasi di sini.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo menjadwalkan untuk tahap pertama program ASO 30 April 2022, di 56 wilayah layanan siaran meliputi 166 kabupaten/kota.

Tahap kedua pada 25 Agustus 2022, di 31 wilayah layanan siaran di 110 kabupaten/kota.

Tahap ketiga dilakukan pada 2 November 2022 di 25 wilayah layanan siaran 65 kabupaten/kota.

Pada tahap ketiga itulah masyarakat yang TV di rumahnya masih analog tidak bisa nonton siaran TV lagi. Kecuali TV-nya sudah dipasangi oleh yang namanya STB.

STB adalah sebuah alat untuk mengkoversi siaran televisi bermodulasi sinyal digital agar dapat diterima oleh TV analog. TV biasa yang belum berkomponen menerima siaran digital. Kalau Smart-TV, langsung bisa terkoneksi.

Ruang kendali siar salah satu stasiun TV. Bagi televisi, digitalisasi adalah keniscayaan yang harus dijalankan. (Photo: Pribadi)
Ruang kendali siar salah satu stasiun TV. Bagi televisi, digitalisasi adalah keniscayaan yang harus dijalankan. (Photo: Pribadi)

Dengan memakai STB, TV analog yang masih banyak dimiliki masyarakat tidak memerlukan parabola dan jaringan khusus pendukung lainnya agar bisa tetap menonton siaran televisi nasional.

Apakah walau sudah pakai STB tetap perlu antena? Tetap perlu, karena STB tugasnya cuma mengkonversi modulasi sinyal digital, bukan menangkap siaran. Tugas menangkap siaran tetap pada antena televisi UHF-VHF yang ada selama ini.

STB dapat dibeli bebas dengan harga yang bervariasi sesuai jenama (brand). Dari mulai 150 ribuan hingga 250an rupiah. 

Dalam skala terbatas pemerintah memiliki program pemberian gratis STB kepada masyarakat tertentu, khususnya di daerah. 

Program STB gratis itu kerjasama pemerintah dengan lembaga peyiaran pemilik IPP (Izin Penyelenggaran Penyiaran). Dimulai pada bulan Maret ini.

Sebenarnya masalah ASO ini sudah harus selesai tahun 2018 lalu, namun karena proses migrasi teknologi ini butuh waktu, regulasi dan berbiaya mahal, maka yang terjadi adalah pemunduran keputusan.

Konon kabarnya, jika Indonesia tak merealisasikan ASO tahun ini juga akan "terasingkan" oleh organisasi penyiaran internasional yang ada dan diikuti, sebab digitalisasi penyiaran adalah keniscayaan yang harus dijalankan secara global.  

Apalagi tranformasi digital adalah salah satu pilar isu yang diusung Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 saat ini.

Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Yuliandre Darwis, Phd, pernah mengutip dan menulis di di Media Indonesia. Sebagai berikut:

"Head dan Sterling dalam Broadcasting in America: A Survey of Electronic Media" (1987) menekankan bahwa penyiaran (broadcasting) adalah teknologi yang berbasis gelombang radio. 

Melihat bahwa spektrum merupakan komoditi publik dan merupakan sumber daya, maka muncul satu teori yang berbicara "the spectrum as a public resource", atau spektrum frekuensi gelombang radio sebagai barang kekayaan publik. 

Penyiaran berbasis spektrum gelombang radio disadari amat penting bagi penyelenggaraan komunikasi nirkabel dan diseminasi informasi pada masyarakat. 

Potensi kekuatan yang luar biasa ini kemudian memberi wewenang pada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang penggunaan frekuensi publik tadi, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. 

Adanya regulasi tentang penggunaan frekuensi publik merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan penyiaran yang bergantung pada gelombang elektromagnetik. Terlebih karena kanal-kanal gelombang radio bersifat tetap dan terbatas, sementara jumlah penggunanya terus bertambah."

Dengan demikian, ASO adalah pekerjaan besar pemerintah. Pekerjaan rumah lembaga penyiaran pemilik IPP. Mereka berdua harus menjamin dan bertanggung jawab kepada masyarakat agar bisa menonton tayangan televisi secara bebas dan bermutu.  Apapun teknologinya. Karena apa?

Karena frekuensi adalah milik publik! ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun