Konon kabarnya, jika Indonesia tak merealisasikan ASO tahun ini juga akan "terasingkan" oleh organisasi penyiaran internasional yang ada dan diikuti, sebab digitalisasi penyiaran adalah keniscayaan yang harus dijalankan secara global. Â
Apalagi tranformasi digital adalah salah satu pilar isu yang diusung Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 saat ini.
Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Yuliandre Darwis, Phd, pernah mengutip dan menulis di di Media Indonesia. Sebagai berikut:
"Head dan Sterling dalam Broadcasting in America: A Survey of Electronic Media" (1987) menekankan bahwa penyiaran (broadcasting) adalah teknologi yang berbasis gelombang radio.Â
Melihat bahwa spektrum merupakan komoditi publik dan merupakan sumber daya, maka muncul satu teori yang berbicara "the spectrum as a public resource", atau spektrum frekuensi gelombang radio sebagai barang kekayaan publik.Â
Penyiaran berbasis spektrum gelombang radio disadari amat penting bagi penyelenggaraan komunikasi nirkabel dan diseminasi informasi pada masyarakat.Â
Potensi kekuatan yang luar biasa ini kemudian memberi wewenang pada pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur tentang penggunaan frekuensi publik tadi, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat.Â
Adanya regulasi tentang penggunaan frekuensi publik merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan penyiaran yang bergantung pada gelombang elektromagnetik. Terlebih karena kanal-kanal gelombang radio bersifat tetap dan terbatas, sementara jumlah penggunanya terus bertambah."
Dengan demikian, ASO adalah pekerjaan besar pemerintah. Pekerjaan rumah lembaga penyiaran pemilik IPP. Mereka berdua harus menjamin dan bertanggung jawab kepada masyarakat agar bisa menonton tayangan televisi secara bebas dan bermutu. Â Apapun teknologinya. Karena apa?
Karena frekuensi adalah milik publik! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H