Saya tidak bisa lupa saat Pangeran Manurung mengajukan pertanyaan apriori, “adakah Muhammad diceritakan sejak masa kecilnya?” Lalu hampir seluruh penonton Muslim menjawab “Ada!!!”. Teman saya pun ngomel-ngomel sendiri. “Ada lah! Bahkan sebelum kelahirannya pun diceritakan!”. Pangeran Manurung pun keki.
Saya juga tidak lupa bagaimana Gracia mengatakan bahwa asbabun nuzul Al Maidah: 73 adalah membantah keyakinan pagan kafir Makkah. Saya bergumam, “waduh… Gracia salah… bisa jadi blunder nih.” Dan, ya, benar saja. Masyhud langsung menyanggahnya. Dilihat dari korelasi dengan ayat-ayat sebelumnya juga nampak jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang Trinitas Kekristenan, bukan soal Lata Uzza Manah. Mungkin sekali yang dimaksud Gracia adalah An-Najm: 19-20.
Masyhud meragukan silsilah Yesus anak Daud, begitu juga Menachem Ali. Kemudian Gracia membacakan buku literatur Islam (sepertinya sebuah tafsir, saya lupa. Lihat saja di videonya) yang membenarkan Yesus keturunan Daud. Penulis Islam pun dibuat keki.
Peristiwa-peristiwa itulah yang bagi saya momen-momen terbaik, yakni di mana satu pihak membuat keki pihak lain. Tapi apakah tujuan saya ikut bagian dari dialog tersebut adalah untuk melihat pihak meng-keki dan di-keki? Tentu tidak sama sekali!
Saya ingin melihat bagaimana dua sudut pandang dipertemukan dalam sebuah diskusi. Saya tidak mengharapkan melihat atau ikut bagian dari sebuah debat kusir. Tapi minimal ada sebuah pengertian bahwa iman itu tidak bisa dipaksakan. Yang Muslim mengerti dan memahami apa yang diyakini oleh umat Nasrani, kemudian memaklumi tanpa mengusik. Yang Nasrani pun memiliki pemahaman yang benar tentang apa yang diyakini oleh umat Muslim agar tidak terjadi salah paham. Itulah fungsi dialog yang sesungguhnya.
Kita tidak bisa mencegah terjadinya adu argumentasi, tapi setidaknya kita sama-sama paham bahwa iman itu jauh lebih tinggi kebenarannya di hati sanubari daripada data-data yang (seringkali) dianggap fakta.
Saya berharap semoga acara-acara semacam ini tetap terpelihara demi terciptanya dialog antarumat beragama yang sehat dan bermanfaat, bukan dengan sentimen yang dipelihara dengan pendiaman dan berujung kontak fisik dan diskriminasi.
Oh ya, saya juga dapat oleh-oleh dari hamba Tuhan. Namanya saya lupa, yang saya ingat dia dari Semarang, muridnya Gracia A. Pello. Saya dapat hadiah sebuah rekaman Debat Teologi Islam Kristen dengan judul Menguji Keabsahan Teologis antara Tauhid dan Tritunggal yang diselenggarakan di Universitas Widya Gama Malang. Saya sih berharap dapat hadiah berupa buku atau teks gitu, tapi nggak kebagian. Ya sudah, apa yang ada aja lah.
Demikianlah kesan dan pesan saya sebagai penonton. Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H