Mohon tunggu...
Yusuf Ali
Yusuf Ali Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku Ada adalah Aku Ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Menghadiri Dialog Lintas Agama Islam dan Kristen

21 Februari 2016   23:58 Diperbarui: 22 Februari 2016   00:27 4020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah lama sekali saya tidak berkecimpung di dalam dunia oksidental. Sejak empat tahun yang lalu, jika tidak salah ingat. Secara kebetulan—tentu saja tidak ada yang benar-benar kebetulan, saya baca di facebook akan diadakan dialog lintas agama pada 20 Februari 2016 di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Entah kenapa, saya langsung tertarik dan berkeinginan untuk hadir. Alhamdulillah, meski ada saja halangan, akhirnya saya bisa menghadirinya.

Sekalipun saya penggemar kajian oksidental dan neo-kristologi, saya belum pernah menghadiri acara semacam ini. Sebelumnya saya hanya menjalani dialog kecil-kecilan dengan teman-teman baik sesama Muslim maupun non-Muslim.

Pada spanduk tertulis Silaturrahim dan Dialog Keagamaan Islam & Kristen. Judul dialog adalah: Almasih dalam Perspektif Al Kitab & Al Qur'an. Sepintas judulnya baik-baik saja, mengesakan acara ini akan berjalan dengan suasana yang sangat kekeluargaan.

Pihak Kristen diwakili oleh Gracia A. Pello, STh. dan Pangeran Manurung, MTh. sedangkan dari pihak Islam diwakili oleh M. Masyhud, SM dan Menachem Ali, MA. Min.

Saya belum pernah membaca profil pembicara dari pihak Kristen jadi saya tidak memiliki bayangan apa yang akan dibicarakan oleh kedua narasumber tersebut. Sedangkan dari pihak Islam, saya sempat mengetahuinya.

Kali pertama saya bertemu dengan Masyhud saat saya kuliah di IAIN Sunan Ampel (sekarang UIN Sunan Ampel) dalam sebuah acara launching buku “Terjemahan Injil Barnabas”, namun saya sudah tidak seberapa ingat hal apa yang disampaikan. Saya juga lupa kapan acara tersebut diadakan, mungkin sekitar tahun 2007-2008. Pada saat itu saya beranikan diri saya untuk meminta beliau menandatangani buku karangan beliau yang berjudul “Al-Qur'an berbicara tentang Kristen.” Saya masih ingat tanggapan beliau saat itu yang berkata, “Buku ini termasuk buku-buku pertama saya yang saya tulis waktu saya masih berusia 20 tahunan”. Pada acara ini pun saya meminta beliau untuk membubuhkan tanda tangan untuk kali kedua. Hehehe...

Masyhud SM ini memang seorang dai yang sudah melanglang buana dalam hal debat Islam-Kristen. Maka tak heran jika selama dialog berlangsung beliau tenang-tenang saja dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan.

Pembicara kedua, Menachem Ali, juga bukanlah orang yang baru. Dari beliaulah kali pertama saya mengenal istilah “oksidental” sebagai lawan/antitesa dari “oriental”. Gracia A. Pello di sela-sela penjelasannya mengungkapkan jati diri seorang Menachem Ali. Beliau mengatakan bahwa Menachem Ali nama aslinya adalah Muhammad Ali. Beliau dari Islam, masuk Kristen, kemudian masuk Syiah, dan sekarang menjadi Islam Mesianik. Saya belum tahu persis apa yang dimaksud dengan Islam Mesianik. Jadi saya tidak akan membahasnya di sini.

Kontak pertama dengan Menachem Ali adalah saat beliau mengirim pesan singkat kepada saya. Beliau mengenalkan diri sebagai pengamat oksidental, sambil memuji salah satu tulisan saya. Beliau mengatakan bahwa sangat jarang sekali ada karya oksidental seperti karya yang telah saya buat.

Saya datang sedikit terlambat dan kebetulan saya tidak tahu siapa yang memberikan sambutan. Saya hanya sempat mendengarkan dua sambutan yang entah siapa yang membawakan, tapi setidaknya saya tahu bahwa mereka dari Abdullah Wasi'an Foundation, sebuah yayasan yang didedikasikan kepada KH. Abdullah Wasi'an, seorang dai dan kristolog handal yang pernah dimiliki oleh umat Islam Indonesia.

Acara dimoderasi oleh seorang brewokan bernama Drs. Ali Makhrus, MTh. Jujur, ada keheranan di benak saya melihat dua gelar yang disandang. Gelar Drs. dan MTh. yang mengapit namanya pastilah menunjukkan bahwa orang ini berwawasan luas, bahkan seharusnya lebih luas dari pembicara lain yang hanya bergelar MTh. Entahlah, saya berusaha untuk husnudhon saja.

Jika Anda seorang pemerhati dialog antaragama (dalam hal ini Islam-Kristen), Anda tentu sangat tahu dengan nama Ali Makrus Attamimi (banyak orang hanya menyebutnya Ata Mimi). Yap! Benar sekali! Dugaan Anda sama dengan dugaan saya. Orang ini dianggap sebagai orang yang dulunya Islam, lalu masuk Kristen, lalu masuk Islam lagi sampai saat ini.

Dia dikenal melalui rekamannya memberi kesaksian dari satu gereja ke gereja lain bagaimana awal mulai dirinya mengenal Yesus. Jika Anda Muslim, Anda pasti langsung menuduh bahwa kesaksian itu konyol dan penuh kebohongan. Jika Anda seorang Nasrani yang cerdas, pun Anda akan menuduh hal yang sama.

Dan benar saja, beberapa waktu setelah dia melakukan “pekerjaannya” itu, dia bertobat masuk Islam kembali setelah didatangi sebuah organisasi Islam. Sejak saat itu dia sering menjadi moderator dialog Islam-Kristen.

Mungkin di antara pembaca tidak percaya bahwa yang menjadi moderator pada acara tersebut adalah Ali Makrus yang dulu mengisi kesaksian di gereja-gereja. Mungkin pula Anda sempat menyaksikannya.

Sama! Saya juga tidak percaya. Oleh karena itu, selain saya memperhatikan penjelasan dari empat narasumber, saya pun mengamati gerak-gerik sang moderator. Apa iya memang benar dia? Sampai akhirnya saya berkeyakinan: iya, memang dia orangnya! Saya melihat dari ciri khas matanya yang antara “sayu” dan “innocent.” Itu bukti pertama. Bukti kedua, sesekali di akhir perkataannya dia memperpanjang bunyi paten (huruf mati). Dua ciri khas itulah, yang saya amati dari video kesaksian palsunya, yang membuat saya yakin.

Saya tidak akan panjang lebar menceritakan detail-detail apa saja yang dibahas. Toh nanti juga ada videonya. Kita tunggu saja. Mungkin yang merekam acara tersebut sedang me-render agar lebih mudah diupload di youtube.

Berbagai pendapat mengemuka. Di antaranya salah seorang penonton yang merupakan mahasiswa UIN Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin jurusan Perbandinga Agama, menyayangkan moderator yang cenderung kepada pembicara Muslim. Lain dengan pendapatnya, menurut saya moderator sudah memberi waktu dengan baik kepada para pembicara masing-masing 20 menit. Saya pun ikut menghitung waktu. Bahkan jika mau jujur, sebenarnya justru Gracia A Pello diberi tambahan waktu lebih banyak sekitar 1 menit.

Ada pula yang menyayangkan mengapa ada polisi. Untuk ukuran instansi pendidikan seharusnya kehadiran polisi tidak diperlukan. Tapi lagi-lagi, bagi saya, hadirnya polisi memiliki arti penting bahwa acara tersebut mendapat dukungan dari kepolisian. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Jangan sampai menunggu ada sekelompok ormas yang membubarkan paksa (seperti dialog yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu).

Saya terlambat menghadiri sesi yang kedua karena saya harus mengisi perut yang kosong. Saya cari warung dekat kampus. Saya benar-benar paus eh paus eh puas (susah sekali mengetik paus eh puas). Sudah bentuknya prasmanan, murah lagi. Eh… salah fokus.

Sempat terjadi penyimpangan tema dialog saat Masyhud mempertanyakan otentisitas empat Injil. Masyhud merasa perlu menyinggung hal tersebut karena Gracia terlebih dahulu “menuduh” kisah yang termuat dalam Al-Qur'an adalah kisah dongeng yang oleh umat Kristiani tidak diakui keabsahannya.

Saya kurang puas dengan jawaban dari Masyhud saat beliau menjawab pertanyaan seorang jemaat Kristen asal Singosari yang bertanya tentang apa yang dikatakan al-Qur'an tentang penyaliban Yesus (sebuah pertanyaan yang sudah dikoreksi sebelumnya). Masyhud menjelaskan bahwa dalam Islam ada dua pendapat mengenai bagaimana proses penyaliban. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang disalib itu orang lain, sedangkan pendapat yang lain menyatakan yang disalib adalah Yesus tetapi tidak mati di tiang salib. Tidak dijelaskan siapa ulama yang memiliki pendapat kedua. Padahal dalam bukunya beliau mendukung pendapat yang pertama.

Saya tidak bisa lupa saat Pangeran Manurung mengajukan pertanyaan apriori, “adakah Muhammad diceritakan sejak masa kecilnya?” Lalu hampir seluruh penonton Muslim menjawab “Ada!!!”. Teman saya pun ngomel-ngomel sendiri. “Ada lah! Bahkan sebelum kelahirannya pun diceritakan!”. Pangeran Manurung pun keki.

Saya juga tidak lupa bagaimana Gracia mengatakan bahwa asbabun nuzul Al Maidah: 73 adalah membantah keyakinan pagan kafir Makkah. Saya bergumam, “waduh… Gracia salah… bisa jadi blunder nih.” Dan, ya, benar saja. Masyhud langsung menyanggahnya. Dilihat dari korelasi dengan ayat-ayat sebelumnya juga nampak jelas bahwa ayat tersebut berbicara tentang Trinitas Kekristenan, bukan soal Lata Uzza Manah. Mungkin sekali yang dimaksud Gracia adalah An-Najm: 19-20.

Masyhud meragukan silsilah Yesus anak Daud, begitu juga Menachem Ali. Kemudian Gracia membacakan buku literatur Islam (sepertinya sebuah tafsir, saya lupa. Lihat saja di videonya) yang membenarkan Yesus keturunan Daud. Penulis Islam pun dibuat keki.

Peristiwa-peristiwa itulah yang bagi saya momen-momen terbaik, yakni di mana satu pihak membuat keki pihak lain. Tapi apakah tujuan saya ikut bagian dari dialog tersebut adalah untuk melihat pihak meng-keki dan di-keki? Tentu tidak sama sekali!

Saya ingin melihat bagaimana dua sudut pandang dipertemukan dalam sebuah diskusi. Saya tidak mengharapkan melihat atau ikut bagian dari sebuah debat kusir. Tapi minimal ada sebuah pengertian bahwa iman itu tidak bisa dipaksakan. Yang Muslim mengerti dan memahami apa yang diyakini oleh umat Nasrani, kemudian memaklumi tanpa mengusik. Yang Nasrani pun memiliki pemahaman yang benar tentang apa yang diyakini oleh umat Muslim agar tidak terjadi salah paham. Itulah fungsi dialog yang sesungguhnya.

Kita tidak bisa mencegah terjadinya adu argumentasi, tapi setidaknya kita sama-sama paham bahwa iman itu jauh lebih tinggi kebenarannya di hati sanubari daripada data-data yang (seringkali) dianggap fakta.

Saya berharap semoga acara-acara semacam ini tetap terpelihara demi terciptanya dialog antarumat beragama yang sehat dan bermanfaat, bukan dengan sentimen yang dipelihara dengan pendiaman dan berujung kontak fisik dan diskriminasi.

Oh ya, saya juga dapat oleh-oleh dari hamba Tuhan. Namanya saya lupa, yang saya ingat dia dari Semarang, muridnya Gracia A. Pello. Saya dapat hadiah sebuah rekaman Debat Teologi Islam Kristen dengan judul Menguji Keabsahan Teologis antara Tauhid dan Tritunggal yang diselenggarakan di Universitas Widya Gama Malang. Saya sih berharap dapat hadiah berupa buku atau teks gitu, tapi nggak kebagian. Ya sudah, apa yang ada aja lah.

Demikianlah kesan dan pesan saya sebagai penonton. Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun