Terjadi berbagai hal dilematis. Bahkan ironi. Pada satu sisi penyelenggara ketenagalistrikan nasional yang berstatus persero dituntut untuk meraih laba. Pada sisi yang lain perusahaan ini mempunyai misi sosial yang cukup membebani. Pada saat yang sama regulatornya pun masih pemerintah. Tak heran kalau tarik-menarik kepentingan sangat mempengaruhi keberadaan PLN.
Mengacu pada Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 Ayat (2): cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pernyataan itu mengandung makna bahwa negara mempunyai keterlibatan langsung dalam perekonomian masyarakat. Dari sini pengelolaannya diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Dalam kaitannya dengan ketenagalistrikan salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak pemerintah menetapkan Undang-undang No 15 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara.Â
Sesuai dengan Undang-Undang No 15 ini adalah jelas bahwa listrik merupakan tanggung jawab pemerintah dan pengoperasiannya dilaksanakan oleh BUMN yang dalam hal ini adalah PLN.
Terkait dengan Kepress Nomor 67 tahun 1992 tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 1994 dan menggantikan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 1990 tentang status PLN sebagai perusahaan umum (Perum). Konsekuensinya jelas.Â
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang BUMN: Perusahaan persero, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk PT (Persero) yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya, atau paling sedikit 51%, dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan.
Masih berlakunya UU No 15 Tahun 1985, secara implisit menunjukkan adanya "penambahan tugas", untuk tidak menyebutnya sebagai 'pertentangan', fungsi PLN.
Kalau pada UU No 15 Tahun 1985 PLN adalah sebagai BUMN yang mengelola yang secara implisit menjalanan fungsi sosial. Pada PP No 23 Tahun 1994 PLN juga mejalankan fungsi bisnis pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah juga berperan sebagai regulator. Dalam kondisi ini PLN menghadapi masalah yang serius yang ironisnya merupakan pertentangan dari tugas yang dibebankan berdasarkan peraturan yang berlaku.
Prinsip privatisasi dan kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi telah diatur dengan jelas dalam UU No 19 Tahun 2003. BUMN harus melakukan restrukturisasi untuk memperbaiki kondisi internal sejalan dengan UU No 19 tahun 2003. UU No 19 tahun 2003 memuat pemisahan posisi pemerintah sebagai pemilik melalui Kementerian Negara BUMN dan sebagai regulator serta pembuat kebijakan.
Dalam bidang ketenagalistrikan pemerintah mempunyai peran ganda yaitu sebagai pemilik dan sebagai regulator ketenagalistrikan nasional. Sebagai regulator tentu saja pemerintah berkepentingan agar semua kebijakan adalah berdasarkan kepentingan rakyat dan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.Â
Sebagai pemilik, apalagi ketika BUMN tersebut sudah berbentuk PT (Persero), pemerintah berkeinginan bahwa PLN mendapatkan laba. Dalam situasi ini bagaimana pemerintah bisa menjamin tak ada benturan kepentingan antara misi sosial dan misi komersial yang apa boleh buat semuanya tergantung pada 'keinginan' pemerintah.