Elevasi kontur muka bumi adalah hasil pengukuran topografi di kawasan tertentu yang dilakukan para surveyor dan tenaga ahli geodesi menggunakan peralatan khusus untuk mendapatkan elevasi muka bumi dan garis kontur. Pengukuran menggunakan metode polygon terbuka atau polygon tertutup. Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik elevasi kontur pada ketinggian yang sama.
Di bangku kuliah Teknik Sipil, Teknik Pengairan dan Teknik Geodesi, pengukuran topografi atau muka bumi diajarkan dalam mata kuliah Ilmu Ukur Tanah (IUT) dan Geodesi.
Konsep Penanganan Banjir Berdasarkan Elevasi Kontur Bumi adalah murni ide Penulis Artikel, sebagai praktisi Tenaga Ahli Sumber Daya Air selama bekerja pada Perusahaan Konsultan Teknik.
Ide konsep ini muncul dari adanya istilah "banjir kiriman" yang biasanya terjadi pada kawasan permukiman dengan elevasi kontur muka bumi yang paling rendah. Begitulah hukum sunatullah, air mengalir menuju tempat terendah.
Konsep ini memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan elevasi kontur terendah, karena pengendalian banjir dimulai dari kawasan dengan elevasi kontur tertinggi secara bertahap hingga elevasi kontur terendah.
Artinya pengendalian banjir, baik dari sisi sedimen maupun aliran air permukaan (run off) melalui pengurangan volume sedimen dan volume debit aliran permukaan (run off).
Penyebab utama terjadinya banjir adalah penggundulan hutan (deforestasi) di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena eksplorasi, eksploitasi Sumber Daya Alam atau kegiatan pembangunan sebagai konsekuensi pengembangan sebuah kota.
Degradasi hutan di kawasan DAS mengakibatkan tingkat erosi dan angkutan sedimen (sedimen transport) serta debit aliran air permukaan (run off) makin besar. Longsoran tanah yang terjadi juga menyebabkan makin besarnya volume angkutan sedimen.
Ada 2 komponen penting penyebab utama terjadinya banjir akibat aktivitas penggundulan hutan di kawasan DAS, yaitu:
1. Sedimen
2. Aliran air permukaan (run off)
Pergerakan angkutan sedimen dan aliran air permukaan (run off) mengikuti elevasi kontur muka bumi, yaitu dari elevasi kontur tertinggi menuju ke elevasi kontur terendah.
Aliran air permukaan (run off) ini membawa sedimen, di mana di tempat-tempat tertentu akan mengalami proses sedimentasi. Sedimentasi inilah yang menyebabkan kapasitas tampungan air dan aliran air di situ, rawa-rawa, danau, embung, bendungan, saluran drainase dan sungai berkurang cukup nyata (significant).
Sedimen ini juga yang menyebabkan volume banjir, titik-titik genangan air dan luasan genangan air makin parah dari tahun ke tahun, bahkan berpotensi besar terjadinya banjir bandang dengan membawa lumpur sedimen dalam jumlah besar.
Sebuah harga mahal yang harus dibayar akibat penggundulan hutan (deforestasi) di kawasan DAS. Upaya pengerukan sedimen dengan biaya sangat besar sesungguhnya hanya bersifat sementara (temporary), karena proses sedimentasi akan kembali terjadi dengan akumulasi jumlah yang lebih besar. Sementara kegiatan penghijauan kembali hutan dan reboisasi akan terasa efektivitasnya dalam waktu puluhan tahun.
Di sisi lain, keberadaan sedimen bisa mengganggu kinerja bangunan air baik yang buatan maupun yang alami. Tertutupnya intake air baku di embung untuk masuk ke pipa transmisi menuju IPA atau SPAM PDAM sehingga layanan air PDAM kepada para pelanggan terganggu. Mau tidak mau, sedimen tersebut harus dikeruk menggunakan kapal keruk atau penghisap lumpur dengan biaya yang cukup mahal serta menambah pos biaya operasi dan pemeliharaan (O & P).
Untuk itu perlu segera dibangun sebanyak mungkin bangunan penangkap sedimen (check dam) dan sabo dam (daerah gunung berapi aktif), agar sedimen tidak masuk di bangunan-bangunan air dan badan-badan air. Sedimen yang tertangkap di check dam dan sabo dam harus diambil keluar dan dipindahkan untuk dimanfaatkan sesuai pedoman Operasi dan Pemeliharaan (O & P).
Sementara itu aliran air permukaan (run off) terus mengalir menuju tempat-tempat terendah hingga ke dataran rendah di kawasan permukiman.
Dampak penimbunan rawa-rawa, situ, tampungan air alami dan pengeprasan serta perataan bukit-bukit untuk aktivitas pembangunan perumahan, kawasan permukiman, fasilitas umum (fasum) dan fadilitas sosial (fasos). Hilangnya tampungan air alami dan bukit-bukit penyimpan air menyebabkan bertambahnya volume debit aliran air permukaan (run off), yang akhirnya menimbulkan genangan banjir di beberapa titik kawasan perkotaan dan permukiman.
Untuk mengatasi genangan banjir yang terjadi, maka perlu banyak dibangun tampungan air buatan seperti bendungan, embung, kolam retensi, kolam detensi.
Khusus kawasan genangan air banjir yang dipengaruhi oleh pasang air laut atau yang dikenal dengan "banjir rob", maka perlu dibangun Sistem Polder yang terdiri dari saluran inlet, kolam retensi dan stasiun pompa untuk membuang air (outlet) ke saluran drainase yang lebih tinggi saat kapasitas aliran air sudah dalam kondisi normal.
Apabila ada ketersediaan lahan, maka pembangunan Kanal Banjir juga dirasa cukup efektif untuk mengatasi permasalahan banjir.
Konsep Pengendalian Banjir Berdasarkan Elevasi Kontur Muka Bumi adalah sebagai upaya mencegah terjadinya "banjir kiriman" dari kawasan hulu ke kawasan hilir.
Untuk merealisasikan konsep tersebut diperlukan tahapan perencanaan mulai dari studi kelayakan, survei dan investigasi desain hingga tahapan detail enginering design sebagai bahan pengajuan anggaran melalui pelelangan pekerjaan Jasa Konsultansi.
Dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebagai acuan kerja bagi Perusahaan Jasa Konsultansi yang memenangkan proses pelelangan, petlu dilakukan evaluasi kinerja dari Sistem Pengendalian Banjir yang sudah ada, sehingga bisa diketahui apa yang perlu diperbaiki, ditingkatkan atau ditambahkan dalam Sistem tersebut.
Secara umum Sistem Pengendalian Banjir Terpadu dari sisi Struktural itu meliputi:
1. Sistem Saluran Drainase;
2. Sistem Bangunan Pengendali Sedimen;
3. Sistem Bangunan Penampungan Air;
4. Sistem Polder.
Keempat Sistem Pengendalian Banjir secara Struktural tersebut menjadi satu kesatuan sebuah Sistem Pengendalian Banjir yang saling terhubung dan mendukung termasuk memanfaatkan danau, situ dan rawa-rawa sebagai tampungan alami.
Sementara itu Sistem Pengendalian Banjir secara Non Struktural berupa penghijauan dan reboisasi harus membutuhkan waktu puluhan tahun. Sistem peringatan dini banjir dan sosialisasi perilaku positif mencegah banjir serta mitigasi bencana banjir juga penting dilakukan.
Demikian ulasan singkat tentang sebuah ide atau gagasan Konsep Pengendalian Banjir Berdasarkan Elevasi Kontur Bumi ini semoga bermanfaat.
Zulkarnain Setiabudi
Tenaga Ahli Sumber Daya Air
Alumni Teknik Pengairan Unibraw
Domisili Samarinda - Kaltim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H