Permasalahan banjir adalah salah satu problem utama yang dialami sebagian besar kabupaten / kota di Indonesia, selain kemacetan dan tata ruang wilayah. Sehingga penanganan banjir, baik secara struktural maupun non struktural harus dilakukan secara simultan.
Penanggulangan banjir secara struktural meliputi kegiatan perbaikan sungai dan pembuatan tanggul banjir untuk mengurangi resiko banjir di sungai, pembuatan kanal banjir (floodway) untuk mengalirkan sebagian atau seluruh air, serta pengaturan sistem pengaliran untuk mengurangi debit puncak banjir dengan bangunan, seperti bendungan dan kolam retensi.
Pembangunan infrastruktur seperti; embung, rehabilitasi situ dan danau, kolam detensi, sistem polder, normalisasi sungai, sudetan (by pass) pada sungai yang berkelok (meandering) juga merupakan kegiatan penanggulangan banjir.
Pembangunan ABSAH (Aquifer Buatan Simpanan Air Hujan), sumur resapan, teknologi biopori, dan sistem drainase porous adalah bentuk upaya penanganan struktural di tingkat masyarakat atau kawasan permukiman.
Dalam upaya pengendalian banjir di suatu wilayah, membangun sebuah bendungan di bagian hulu sungai utama. Pembangunan bendungan ini biasanya dikombinasikan dengan pekerjaan normalisasi sungai dan sudetan sungai ke kanal banjir di bagian hilirnya.
Keberadaan bendungan mampu mereduksi luasan banjir pada area-area yang beresiko terdampak.
Pembangunan sebuah bendungan membutuhkan waktu konstruksi minimal 3 tahun melalui pendanaan tahun jamak (multiyears) dengan total biaya minimal 200 Milyar. Bendungan dengan tinggi di atas 50 meter bisa memiliki kapasitas tampung jutaan m3 dan luas area genangan 50-an hektare (tergantung bentuk topografi cekungan alami) mampu mereduksi banjir hingga 100-an m3/detik atau 30% banjir Q50.
Bendungan pada umumnya dibangun dengan sistem memiliki genangan atau waduk (WetDam). Saat ini baru ada 1 bendungan dengan sistem tanpa genangan (DryDam) yaitu Bendungan Ciawi di Jakarta yang berfungsi untuk pengendalian banjir wilayah DKI Jakarta.
Bendungan Ciawi fungsinya hanya ketika terjadi banjir, jika terjadi banjir sebagian debitnya ditahan sementara (temporary) di waduk sehingga tidak semuanya mengalir ke bawah, dan ketika kondisi tidak banjir air mengalir seperti biasa.
Selain berfungsi untuk mengendalikan banjir, bendungan juga dapat dijadikan sebagai tempat wisata atau kegiatan luar ruang yang lainnya seperti melepas lelah dan penat (healing).
Konstruksi tubuh bendungan bisa berupa urugan tanah, urugan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun. Selain untuk menahan dan menampung air, bangunan ini juga dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur sehingga terbentuknya waduk.
Bendungan atau dam juga dapat didefinisikan sebagai konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air menjadi waduk, serta menahan laju sedimentasi yang ditampung dalam tampungan mati (dead storage) atau kantong lumpur.
Terdapat beberapa fungsi bendungan, yaitu untuk menampung air sungai, mengelola dan mengatur air dalam waduk, pengelolaan sumber daya air, penyediaan air baku (raw water), menjadi salah satu sumber untuk penyediaan air bersih dan air minum, penyediaan air irigasi, pengendalian banjir, dan sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Suatu bendungan apabila mempunyai semua fungsi-fungsi tersebut disebutnya sebagai bendungan multifungsi atau multi--purpose dam. Namun, kebanyakan dam juga memiliki beberapa bagian yang disebut dengan pintu utama, bangunan pelimpah (spillway) untuk membuang air yang tidak diinginkan secara bertahap atau berkelanjutan.
Pintu penguras dan kantong lumpur, pintu intake irigasi dan air baku, intake pipa penstock untuk memutar turbin PLTA, terowongan inspeksi beserta instrumen inclino meter, piezometer, hidrometri hidraulika, V note gaya rembesan, pos pengamat muka air (AWLR) merupakan infrastruktur pendukung kinerja waduk dan pengamanan bendungan.
Sedangkan waduk merupakan sebuah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan. Pada umumnya waduk dibangun untuk pengembangan sumber daya air sungai dengan menampung air pada musim hujan guna memperbaiki kondisi aliran sungai, terutama saat musim kemarau.
Di samping itu, waduk biasanya dibangun untuk beberapa manfaat yang disebut multiguna atau multi--purpose dam, misalnya untuk irigasi, penyediaan air baku (air minum), pembangkit listrik tenaga air, dan sebagainya.
Pengendalian banjir dengan waduk hanya dapat dilakukan pada bagian hulu dan biasanya dikaitkan dengan pengembangan sumber daya air.
Perlu diperhatikan, dalam pengendalian banjir dengan waduk adalah perlambatan waktu tiba banjir, penurunan debit banjir yang lepas ke hilir, dan rasio alokasi volume waduk untuk pengendalian banjir terhadap volume untuk pengembangan dan pengelolaan sumber daya air.
Fungsi utama waduk sebagai pengendali banjir adalah menahan debit aliran besar dari banjir masuk (inflow) dan dilepaskan (outflow) dengan debit air yang lebih rendah sehingga tidak terjadi banjir pada hilir sungai.
Jika dibayangkan, kerja sebuah waduk memang cukup sederhana. Namun, banyak sekali tantangan yang harus diperhitungkan matang-matang dalam tahap perencanaan, konstruksi, pasca konstruksi, hingga operasi dan pemeliharannya.
Dalam perencanaan, penentuan kapasitas waduk dapat ditentukan dengan analisis neraca air atau bisa disebut keseimbangan air. Keseimbangan air didapat ketika kebutuhan air dan ketersediaan air selaras atau bisa disebut tidak berlebihan (surplus) ataupun tidak kekurangan (defisit).
Keseimbangan air tersebut bisa ditentukan berdasarkan oleh beberapa faktor seperti ketersediaan air dan kebutuhan air pada daerah aliran sungai. Kebutuhan air bisa dibagi menjadi dua hal, irigasi dan non irigasi.
Kebutuhan air non irigasi yang dimaksud terdiri dari kebutuhan air rumah tangga, perkotaan, maupun industri yang bisa diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk dan tingkat perkembangan kota ataupun desa. Kebutuhan air untuk menggerakkan turbin PLTA juga diperhitungkan.
Sedangkan sebagai pemenuhan kebutuhan air, dibutuhkan ketersediaan air yang dapat diperoleh salah satunya dari air hujan. Tidak bisa dipungkiri bahwa curah hujan bukanlah sesuatu yang bisa kita kontrol dan kita pastikan di masa yang akan datang.
Menghitung ketersediaan air daerah aliran sungai memang penuh ketidakpastian. Jika prediksi tidak tepat, justru bencana banjir bandang ataupun kekeringan yang mungkin bisa terjadi. Pada umumnya, ketersediaan air daerah aliran sungai dinyatakan dalam debit andalan, yaitu debit sungai dengan probabilitas tertentu.
Pembangunan waduk sebagai pengendali banjir harus dipastikan secara teliti, mulai dari perencanaan hingga operas dan pemeliharan. Hal ini ditujukan agar fungsi utama waduk sebagai pengendali banjir akan maksimal dan tidak bergeser menjadi penyebab utama banjir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H