Konservasi dengan pendekatan vegetatif untuk menekan degradasi pada DAS. Teknologi vegetatif (penghutanan, penghijauan, reboisasi), menjadi pilihan yang tepat dan bijak, karena selain dapat menurunkan terjadinya erosi dan sedimentasi juga memiliki nilai ekonomis bila yang ditanam adalah tanaman produktif.
Konservasi vegetatif dapat memulihkan tata air, keseimbangan neraca air serta mengembalikan siklus hidrologi di suatu DAS menjadi normal.
Pengelolaan secara vegetatif merupakan teknologi konservasi tanah dan air yang efektif untuk menekan degradasi (erosi dan sedimentasi) di suatu DAS.
Meningkatkan kesadaran masyarakat dan semua pemangku kepentingan dalam upaya mengurangi resiko bencana banjir juga bentuk penanganan banjir non struktural.
Upaya non struktural yang dilakukan di hilir sungai juga dilakukan lewat pengendalian tata ruang, penyiapan sistem peringatan dini, pemetaan daerah rawan banjir, penataan permukiman daerah rawan banjir, pembuatan Ruang Terbuka Hijau, dan penyiapan sistem tanggap darurat.
2. Konservasi Struktural (struktural)
Berbagai upaya penanganan banjir secara struktural melalui pembangunan fisik infrastruktur seperti; bendungan, embung, rehabilitasi situ dan danau, kolam detensi, sistem polder, normalisasi sungai, sudetan (by pass) dan kanal banjir. Â
Pembangunan ABSAH (Akuifer Buatan Simpanan Air Hujan), Sumur resapan, teknologi biopori, dan drainase porous bentuk upaya penanganan struktural di tingkat masyarakat dan kawasan permukiman.
Upaya pengendalian banjir secara vegetatif (non struktural) dan non vegetatif (struktural) harus dilakukan secara bersamaan dan simultan.
Penghijauan dan reboisasi hutan gundul di kawasan DAS membutuhkan proses puluhan tahun, untuk merasakan efektivitas penanganan banjir yang significant.
Selama ini penanganan banjir di sebagian besar daerah lebih banyak dilakukan di kawasan perkotaan dan permukiman, tetapi melupakan penanganan banjir di sumber masalahnya, yaitu kawasan DAS yang mengalami degradasi.