“Dulu air sungai ini jernih sekali, dasar sungai dan ikan di dalamnya kelihatan dari sini”.
Cerita tentang anak sungai Berambay jadi pembuka kisah perjalanan Amai Pesehu (71 tahun) keluar dari Apokayan[1] hingga ke Dusun Berambai. Sambil duduk pada jembatan kayu di atas anak sungai Berambay yang kian keruh, Amai menceritakan kisah perjalanan hidupnya dengan lancar. Tahun 1990, bersama 36 keluarga lainnya Amai datang ke Berambai dari Datah Bilang. Mereka membuka ladang dan memulai hidup baru diatas belukar atas ijin pemilik sebelumnya. Keberkahan datang dengan pemekaran desa Separi, Dusun Berambai kemudian menjadi bagian dari kelurahan Bukit Pariaman. Tanah dan kebun yang mereka olah juga masuk dalam program sertifikasi.
Kehidupan yang mulai tertata, terganggu dengan datangnya maskapai pertambangan batubara. Tanah kebun yang mereka olah bertahun-tahun masuk dalam wilayah konsesi dari PT. Mahakam Sumber Jaya. Bahkan persis terletak disamping kanan dan kiri jalan hauling, tempat truk-truk raksasa lalu lalung mengangkut batubara dari lokasi galian menuju stock pile. Persoalan segera muncul, masyarakat tetap ingin berkebun tetapi perusahaan tidak menghendaki. Demo warga di lokasi kebun dianggap sebagai pendudukan dan upaya untuk menutup serta menghalang-halangi operasi tambang. Bukannya dialog yang terjadi, perusahaan justru memanggil aparat bersenjata lengkap dan kemudian menangkapi warga. Kini Amai Pesuhu dan beberapa warga lainnya berstatus sebagai tersangka atas tuduhan menghalang-halangi operasi pertambangan. [2]
Kisah Amai Pesuhu dan warga dusun Berambay lainnya hanyalah bagian kecil dari cerita derita tanpa akhir beberapa kelompok migran Dayak Kenyah yang keluar dari Apokayan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, lebih dekat dengan pusat pemerintahan, pusat kesehatan dan pendidikan. Namun cita-cita besar mereka bahkan kian hari kian menjadi suram. Kisah Amai Pesuhu seakan membenarkan adanya ‘kutuk migrasi Kenyah’ yaitu perjalanan yang tak henti karena selalu kalah dan tersingkir[3].
Bandingkan dengan kisah para migran lain yang berasal dari luar pulau Kalimantan. Dengan pandangan sekilas saja, disepanjang kanan-kiri jalan antara Balikpapan – Samarinda, atau Samarinda – Sanggata dengan mudah akan terbaca deretan nama-nama kabupaten atau daerah di pulau Jawa dan Sulawesi tertulis gagah serta jelas di papan nama tempat usaha. Mulai dari warung Kediri, Jombang, Nganjuk, Tahu Sumedang, Mie Yogya, Siomay Bandung, Sate Padang, Mie Aceh, Soto Maros, Coto Makassar dan Coto Jeneponto serta lain-lainnya. Nampak dengan jelas bahwa masyarakat pendatang berhasil dan menguasai perekonomian di Kalimantan Timur. Dan sejatinya bukan hanya bidang ekonomi, bidang politik dan pemerintahanpun juga demikian. Kalimantan Timur adalah daerah kosmopolitan, tempat pertemuan masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari nafkah dan mengeruk kekayaan yang terkandung dalam tanahnya.
Dayak dan Imaji Para Elit
Marjinalisasi masyarakat Dayak[4] sebagai komunitas asli Kalimantan adalah cerita lama. Bermula dari masa kerajaan, disusul masa kolonial dan terus berlanjut dalam masa-masa orde baru serta belum hilang jejaknya pada masa orde reformasi.
Sejak jaman kolonial para peneliti Belanda membangun analisis dari bahan-bahan yang mereka kumpulkan secara tergesa-gesa dan bias sehingga menghasilkan pandangan yang mencitrakan bahwa komunitas Dayak adalah pemburu kepala manusia, penyuka rajah, perambah hutan, mendiami rumah panjang dan tidak beragama (animis primitive). Pandangan ini semakin diperburuk oleh para penyebar agama (misionaris dan pendakwah) yang menyebut masyarakat Dayak sebagai kafir. Sebuah buku tentang Sejarah Gereja Kemah Injil (1995) dengan ekplisit menjuluki orang-orang Dayak Kalimantan Timur dengan keyakinanannya sebagai kafir.
Selain julukan ‘kafir’ begitu banyak stereotype ditebarkan dan dikembangkan yang sangat jelas memandang dan menempatkan orang Dayak sebagai tak beradab, terpencil, terasing hingga harus di-’peradab’-kan. Upaya peng’agama’an masyarakat Dayak agar memilih menjadi Kristen atau Islam dengan sendirinya membuat kebudayaan mereka menjadi luntur. Proyek untuk memajukan masyarakat Dayak berlanjut dengan program Respen atau Resetlement penduduk. Masyarakat Dayak yang tinggal di Lamin, rumah panjang kemudian dikumpulkan dalam satu wilayah administratif dalam bentuk desa baru. Mereka kemudian tinggal dalam rumah individual dan ladang permanen untuk meninggalkan model perladangan berpindah. Mereka dibawa keluar dari kawasan hutan belantara, tanah yang mereka jaga dengan alasan untuk mencapai kemajuan. Dan kelak diketahui, tanah dan hutan yang mereka tinggalkan kemudian dibagi-bagikan kepada para pemegang HPH.
Kala sektor jasa mulai dilirik oleh pelaksana pemerintahan, maka pariwisata menjadi salah satu pilihan utama. Dengan niat bisa meniru keberhasilan Bali dalam mengembangkan dunia pariwisata maka pemerintah daerah mulai aneka program dan kegiatan dilakukan untuk menggalakkan serta meningkatkan kunjungan wisatawan. Di Kalimantan Timur, peradaban (budaya dan kesenian) masyarakat Dayak yang dulu dihabisi kemudian dikais-kais kembali. Beberapa kampung masyarakat Dayak di Samarinda dan Kutai Kartanegara kemudian disebut sebagai desa wisata (desa budaya). Salah satu contoh yang paling monumental adalah Desa Pampang di Samarinda. Kenyataan ini membuat Pui Bubun, tetua kampung Long Anai keheranan sebab pemerintah kini getol mendorong anak-anak muda menarikan tarian yang dulu dilarang karena dianggap sebagai tarian orang kafir.
Revitalisasi kebudayaan Dayak sebagai sebuah proyek terus berlanjut. Kebudayaan dan simbol-simbol Dayak menjadi ikon utama Kalimantan Timur. Artefak dan penanda kultural Dayak dominan sebagai hiasan fasilitas dan bangunan publik serta pemerintahan. Rumah jabatan Gubernur bahkan dinamai Lamin Etam[5], dihiasi dengan Blawing dengan burung Enggang bertengger di puncaknya.
Perayaan Erau yang dulunya adalah upacara dan keramaian saat pengangkatan Raja (Sultan) Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan kemudian diteruskan sebagai perayaan Hari Ulang Tahun Kota Tenggarong di jaman kemerdekaan, budaya Dayak dalam bentuk tarian dan upacara yang merupakan acara tambahan malah terlihat lebih menonjol. Misi dan muhibah kesenian keluar negeri juga menjadikan kesenian Dayak sebagai andalannya. Namun, simbol-simbol penanda Dayak yang akrab dengan modernitas dalam ruang publik ternyata tak merubah pandangan atau persepsi pemerintah dan masyarakat umum yang tetap mengurung masyarakat Dayak dan kebudayaannya dalam kategori unik dan eksotik. Kesenian Dayak tetap dipandang sebagai kesenian atau kebudayaan pedalaman yang tertinggal jika dibandingkan dengan kebudayaan pesisir.
Berjuang Dalam Senyap
Era otonomi daerah dipakai sebagai momentum oleh masyarakat Dayak untuk bangkit melakukan perlawanan damai terhadap berbagai perlakuan yang meminggirkan mereka selama ini. Muncul berbagai organisasi berbasis masyarakat Dayak. Pemekaran daerah juga melahirkan kabupaten yang bisa diklaim ‘kabupaten Dayak’ seperti Kutai Barat, Malinau dan Tana Tidung serta kemudian akan disusul oleh Mahakam Hulu. Fenomena seperti ini bukanlah hal yang aneh atau ganjil, di pelbagai tempat juga terjadi gejala yang sama. Hanya saja semua ini belum menghasilkan perubahan yang mampu menghapus luka dan derita lama. Kehadiran organisasi berbasis masyarakat, paguyuban yang seharusnya menjadi wadah silaturahmi dan perjuangan bersama, malah berkembang menjadi alat politik dan ekonomi kelompok yang terbatas. Demikian pula jabatan-jabatan tinggi yang kemudian diduduki oleh putera-putera Dayak ternyata tak juga menghasilkan keberpihakan pada masyarakat Dayak di tingkatan akar rumput.
Mencermati pemberitaan media dari ke hari ke hari, semakin banyak masyarakat melakukan aksi, mengadu kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepala Daerah, perihal nasib kehidupan mereka yang tergusur oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit. Situasinya semakin jelas, masyarakat tradisional yang mengantungkan dan mencari hidup dari apa yang ada di lingkungannya terus terdesak oleh kebijakan pemerintah yang mengobral ijin usaha untuk pertambangan dan perkebunan. Peluang pertanian tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada daerah lain, dijawab oleh pemerintah bukan dengan mendorong dan mendukung petani lokal melainkan justru dengan mengundang investor lewat proyek Food Estate.
Beruntung hingga saat ini, peminggiran yang terus menerus kepada masyarakat Dayak tidak memunculkan gejolak dan sentimen berlebihan terhadap masyarakat pendatang, meski ada suara-suara dan perasaan masyarakat Dayak yang sebenarnya tidaklah nyaman. Mereka merasa kekayaan daerah, tanah tumpah darah mereka lebih dinikmati orang luar, baik luar Kalimantan maupun luar negeri.
Berkaca pada persoalan yang dihadapi oleh Amai Pesuhu dan warga lainnya di Berambay, perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas pengelolaan tanah melawan korporasi hampir-hampir tidak mendapat sokongan secara sistematik dari organisasi masyarakat sipil yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan[6]. Kalimantan Timur ibarat peternakan organisasi masyarakat sipil pada masa otonomi daerah. Namun sangat sedikit yang benar-benar mau bekerja pada tingkatan akar rumput, melakukan pendampingan dan pembelaan atas hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Era otonomi daerah juga membuat organisasi masyarakat sipil yang dulu di sokong oleh donor-donor luar negeri mulai kesulitan. Akses pendanaan dari donor mulai berkurang atau berpindah fokus. Organisasi masyarakat sipil yang dulu aktif mendampingi, melakukan pengorganisasian dan advokasi kepada masyarakat adat kini sulit diharapkan untuk bisa berada bersama masyarakat secara penuh karena kesulitan sumberdaya, baik dana maupun personel.
Sementara organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat adat justru berada di perkotaan. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang berada jauh dari pusat pemerintah tidak menjadi perhatiannya. Kecenderungannya justru lebih dekat dengan pemerintah dan korporasi agar bisa memperoleh dukungan pendanaan untuk menjalankan roda organisasi. Tak heran jika kemudian ada ungkapan bernada putus asa dan cemooh seperti “Dulu orang-orang berusaha sekuat tenaga menghidupkan organisasi, tapi kini orang beramai-ramai mencari hidup dari organisasi”.
Perjumpaan, Kolaborasi dan Ko-eksistensi
Dalam segala keterbatasannya, perjuangan masyarakat Dayak untuk memperoleh akses dan kontrol yang lebih besar akan pengelolaan sumberdaya alam baik secara kultural maupun struktural secara sporadik terus dilakukan. Upaya untuk memperoleh akses dan kontrol atas sumberdaya alam berpotensi menimbulkan benturan baik vertikal maupun horizontal. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan dengan kelompok lainnya termasuk korporasi bisa berkembang dan mewujud dalam kekerasan masif yang akan membuat persoalan semakin sulit diselesaikan.
Beberapa benturan antar masyarakat sempat terjadi di Tarakan, Loa Buah dan Balikpapan meski kemudian bisa diselesaikan. Namun ini membuktikan bahwa potensi konflik antar kelompok masyarakat di Kalimantan Timur adalah besar. Apabila kelompok masyarakat yang sejak semula merasa tidak dibela dan terus menerus terdesak maka bakal kehilangan akal sehatnya dalam mengatasi persoalan sehingga memilih jalan kekerasan.
Potensi konflik terbesar di masa mendatang justru terjadi antara kelompok masyarakat dan koorporasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Dan adalah kecenderungan dari kooporasi untuk menghadapi konflik dengan masyarakat bukan melalui mediasi dan dialog, melainkan justru memakai kelompok masyarakat yang satu untuk menghadapi kelompok masyarakat lainnya. Korporasi cenderung ingin menyelesaikan persoalan secara cepat dan abai pada kesejarahan serta norma dan budaya masyarakat setempat. Watak dan siasat korporasi yang semacam ini jika tidak diwaspadai sejak dini bakal menebar benih konflik dalam masyarakat, baik ke dalam maupun keluar. [7]
Masyarakat Kalimantan Timur dalam kesejarahannya adalah masyarakat yang akrab dengan perjumpaan atas kelompok masyarakat lainnya yang berbeda. Bumi Kalimantan pada umumnya adalah tujuan migrasi dari kelompok masyarakat, suku bangsa yang berasal dari berbagai pulau disekitarnya. Pendatang dari Jawa secara besar-besaran sudah berlangsung sejak abad 14-15 di masa kejayaan kerajaan Majapahit. Sementara dari Sulawesi terutama Bugis sekurangnya mulai pada abad 16 untuk melakukan perdagangan dan penangkapan ikan. Pada awal tahun 1950-an terjadi gelombang imigran baru dari orang Bugis yang karena penderitaan akibat pemberontakan Islam Kahar Muzakar di Sulsel. Mereka kemudian disusul oleh kerabatnya dan mulai membuka daerah-daerah hutan didataran rendah yang luas di sepanjang jalan untuk usaha tani lada dan perdagangan lainnya. Pada tahun 1990-an migrasi orang Bugis lebih pada kencendrungan mencari pekerjaan pada sektor usaha eksploitasi SDA seperti pertambangan.
Dimasa orde baru gelombang kedatangan masyarakat dari Jawa (juga Bali, Nusa Tenggara Timur dan Barat) untuk dimukimkan kembali melalui program transmigrasi tersebar di berbagai wilayah Kalimantan Timur. Diluar program transmigrasi, banyak pula yang datang untuk menjadi pekerja pada sektor perkayuan dan pertambangan serta sektor informal hingga saat ini.
Dengan demikian masyarakat Kalimantan Timur sebenarnya terbiasa berhadapan dan mengalami perjumpaan dalam keberagaman. Dalam batas-batas tertentu masyarakat telah mempunyai ketahanan untuk tidak dengan cepat terpancing jika ada isu-isu perseteruan antar kelompok. Hanya saja fakta seperti ini tidak boleh membuat masyarakat Kalimantan Timur terlalu percaya diri bahwa konflik antar kelompok yang berlatar etnis atau agama tidak mungkin terjadi disini.
Solidaritas pada masyarakat yang terpinggirkan dan respon atas kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat kebanyakan menjadi penting untuk digelorakan sebagai kerja dan aksi bersama lintas suku, agama, ras dan golongan. Tidak bisa dipungkiri bahwa marjinalisasi juga menimpa kelompok-kelompok lainnya yang sudah lama tinggal dan hidup di Kalimantan Timur. Lahan pertanian produktif yang dibangun dengan susah payah oleh transmgran dari Jawa, Bali dan Nusa Tenggara kini juga terancam oleh operasi maskapai pertambangan Batubara.
Masyarakat Dayak dan masyarakat lainnya perlu membangun sebuah ruang untuk berkumpul bersama, berdialog dan membangun jejaring antar kelompok marjinal untuk mencari jalan pemecahan dan mendorong perubahan kebijakan sehingga lebih berpihak pada masyarakat yang lemah. Adalah penting untuk menyuarakan keadilan yang merata bagi semua kelompok, mengurangi stereotype atau stigma antar kelompok sehingga tumbuh sikap saling mengenal serta menghormati.
Dalam masa ke depan untuk menjaga harmoni antar kelompok yang sangat beragam, keadilan, akses dan kontrol yang seimbang atas sumberdaya alam perlu dipastikan. Keberagaman merupakan berkah dan kekayaan dari Kalimantan Timur disambing sumberdaya alam mineral, gas dan batubara yang berlimpah. Semua ini akan mampu mensejahterakan masyarakat jika ditempatkan dalam konteks Kalimantan Timur sebagai ‘Banua Etam’ atau kampung (rumah) kita bersama. Namun yang saat ini terjadi justru Kalimantan Timur adalah “Banua Ikam” atau kampung (rumah) kamu, dimana segala kekayaannya hanya dinikmati oleh sekelompok orang, elit dan ‘orang luar’. Betapa tidak, Kalimantan Timur yang merupakan penghasil Batubara ternyata hanya dilewati dan dipakai untuk menerangi daerah di belahan bumi lainnya, sementara Kalimantan Timur terus mengalami kegelapan.
Kesadaran bahwa bumi Kalimantan Timur terus diekploitir dan tidak meninggalkan jejak kesejahteraan serta keadilan perlahan akan menjadi kesadaran kolektif. Suara-suara maupun gerakan sporadik untuk menyatakan hal itu mulai terlihat. Jika persoalan ‘pembagian kue’ atas kekayaan sumberdaya alam tidak segera direspon maka tak pelak akan merusak hubungan atau memicu pertentangan antar kelompok yang memang sangat beragam di Kalimantan Timur. Pengalaman konflik komunal di daerah-daerah lain menunjukkan sebuah pola di mana ketidakpuasaan, kekecewaan dan keputusasaan masyarakat setempat paling mudah disuarakan dan diledakkan dengan cara ‘mengkambinghitamkan’ kelompok lainnya.
Samarinda, Pondok Batu Lumpang 25 Mei 2012
@yustinus_esha
[1] Apokayan adalah kawasan yang berada di kecamatan Kayan Hulu dan Kayan Hilir di Kabupaten Bulungan. Dalam laporan majalah Tempo, 24 Mei 1984, Gubernur Kalimantan Timur Soewandi yang berkunjung kesana menerima laporan bahwa 8 dari 11 desa di kecamatan Kayan Hilir ditinggalkan oleh penduduknya. Penelusuran Tempo menunjukkan beberapa desa yang dikunjungi telah ditelan lagi oleh rimba karena tak berpenghuni. Pernyebab utama eksodus ini adalah tekanan ekonomi. Harga barang kebutuhan pokok disana selangit. Transportasi darat tak ada, untuk mencapai dari Samarinda melalui sungai bisa makan waktu berbulan-bulan. Cara yang tercepat adalah lewat udara. Meski dilayani pesawat misi (MAF) tetap saja tak bisa murah karena bahan bakar pesawat juga mahal dan daya angkutnya juga sedikit.
[2] Kisah pembuka tulisan ini adalah tuturan dari Amai Pesuhu yang ditemui penulis saat mendokumentasikan (Audiovisual) fenomena masyarakat korban tambang.
[3] Van Linden, seorang Antropolog Belanda pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal.Citra populer sebagai kelompok yang ‘terkebelakang, primitif dan liar’ semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita.
[4] Istilah atau sebutan Dayak dari sisi etnisitas adalah sebuah generalisasi. Sebab dalam keseharian mereka yang dikenal sebagai Dayak, menyebut dirinya sebagai Kenyah, Iban, Murut, Bahau, Kayan, Tunjung, Benuaq, Punan, Lawangan, Manyaan, Penihing, Bentian dan lain sebagainya.
[5] Di masa pemerintahan bupati Syaukani HR, desa-desa Dayak di Kabupaten Kutai Kartanegara dibangunkan lamin. Bukan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai balai pertemuan. Meski dinamai sebagai lamin, struktur dan fungsinya jauh dari yang selama ini dikenal dalam kebudayaan dan arsitektur Dayak. Mereka yang paham tentang Lamin, menyatakan bahwa bangunan itu bukan Lamin melainkan stadion (karena ada tempat duduk setengah melingkar – letter U). Namun pembangunan tetap jalan meski sebagian tak selesai karena Syaukani HR ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
[6] Perhatian dan pendampingan pada warga Dusun Berambay selama ini justru dimotori oleh Johannes Kopong MSF, Pastor yang bertugas di Gereja Katolik St. Lukas Samarinda. Jatam, Forum Pelangi, Pokja 30 sesekali menemani dalam kerja-kerja lapangan dan diskusi atas kasus ini.
[7] Contoh kasus seperti ini terjadi di Muara Tae dimana dua kelompok masyarakat Dayak Benuaq berkonflik akibat salah satu pihak menuduh pihak lainnya menjual ‘tanah adat’ pada perusahaan perkebunan sawit. Kasus di Muara Tae didampingi oleh Aman dan Telapak. Jatam, Pokja 30, Forum Pelangi dan lainnya sesekali juga terlibat dalam aksi, hearing dengan pemerintah dan DPR, serta diskusi-diskusi atas kasus ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H