[3] Van Linden, seorang Antropolog Belanda pernah mengatakan bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Senada dengan itu Magenda (1991) melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang massif baik oleh kekuatan politik kolonial, nasional dan lokal.Citra populer sebagai kelompok yang ‘terkebelakang, primitif dan liar’ semakin memperparah marjinalisasi yang mereka derita.
[4] Istilah atau sebutan Dayak dari sisi etnisitas adalah sebuah generalisasi. Sebab dalam keseharian mereka yang dikenal sebagai Dayak, menyebut dirinya sebagai Kenyah, Iban, Murut, Bahau, Kayan, Tunjung, Benuaq, Punan, Lawangan, Manyaan, Penihing, Bentian dan lain sebagainya.
[5] Di masa pemerintahan bupati Syaukani HR, desa-desa Dayak di Kabupaten Kutai Kartanegara dibangunkan lamin. Bukan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai balai pertemuan. Meski dinamai sebagai lamin, struktur dan fungsinya jauh dari yang selama ini dikenal dalam kebudayaan dan arsitektur Dayak. Mereka yang paham tentang Lamin, menyatakan bahwa bangunan itu bukan Lamin melainkan stadion (karena ada tempat duduk setengah melingkar – letter U). Namun pembangunan tetap jalan meski sebagian tak selesai karena Syaukani HR ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
[6] Perhatian dan pendampingan pada warga Dusun Berambay selama ini justru dimotori oleh Johannes Kopong MSF, Pastor yang bertugas di Gereja Katolik St. Lukas Samarinda. Jatam, Forum Pelangi, Pokja 30 sesekali menemani dalam kerja-kerja lapangan dan diskusi atas kasus ini.
[7] Contoh kasus seperti ini terjadi di Muara Tae dimana dua kelompok masyarakat Dayak Benuaq berkonflik akibat salah satu pihak menuduh pihak lainnya menjual ‘tanah adat’ pada perusahaan perkebunan sawit. Kasus di Muara Tae didampingi oleh Aman dan Telapak. Jatam, Pokja 30, Forum Pelangi dan lainnya sesekali juga terlibat dalam aksi, hearing dengan pemerintah dan DPR, serta diskusi-diskusi atas kasus ini.