Mohon tunggu...
Yusrina Imaniar
Yusrina Imaniar Mohon Tunggu... QC Supervisor -

If you want to give me feedback or even REPOST my stories, please contact me on : Email : iyusrina30@gmail.com Instagram : @yusrinaimaniar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pangeran Hitam, Putri Cahaya, dan Ksatria Putih (Part 7)

21 November 2017   10:51 Diperbarui: 21 November 2017   11:00 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nino P.O.V

Aku dan Kirana pulang ketika hari menjelang sore dengan mata bengkak habis menangis. Gadis itu masih diam, tidak bicara padaku. Aku juga merasa bingung untuk memulai pembicaraan lagi dengannya.

"Halo? Iya Fan, aku sama kak Nino dijalan pulang. Hmm, iya. Nggak ada apa-apa

kok, semuanya baik-baik saja. Kamu nggak jaga malam ini?... oke, tunggu di rumah ya," Kirana menutup teleponnya. Aku sudah bisa menebaknya, pasti...

"Ryfan?" tanyaku.

"Iya, dia nanya aku masih dimana,"

"Kamu nggak akan cerita sama Ryfan kan? Soal yang tadi?"

"Kalau kakak nggak mau aku cerita, aku nggak akan cerita apa-apa,"

Aku diam mendengar jawabannya. Sepertinya dia masih shock melihat reaksiku tadi selama di makam Alisia.

 "Jangan dipikirkan lagi, kak. Yang sudah pergi ya sudah pergi. Walaupun kakak begini, dia nggak akan kembali." Ucap Kirana entah untuk keberapa kalinya.

"Aku tahu,"

Kirana hanya diam sepanjang perjalanan. Aku merasa bingung dan juga bersalah. Tapi saat kami hampir tiba ke rumah, dia mengeluarkan berbagai peralatan perang untuk memperbaiki riasan wajahnya dan mulai berdandan.

"Kamu... ngapain? Kita sudah mau sampai rumah,"

"Justru itu, kalau ibu dan Ryfan lihat wajahku yang pucat dan bermata bengkak, mereka pasti khawatir. Jadi, ayo kita bersikap seperti nggak ada apa-apa dan semuanya sudah selesai dengan baik,"

*

Ryfan P.O.V

Kirana tersenyum cerah saat keluar dari mobil kak Nino. Tapi make up dan senyum cerahnya tidak bisa menipuku bahwa dia habis menangis. Kak Nino juga terlihat lelah sekali. Aku jadi penasaran apa yang terjadi. Hanya saja aku bisa melihat kilatan mata Kirana yang menyuruhku untuk tidak bertanya. Kak Nino masuk kedalam rumah, sementara Kirana berdiri didepanku.

"Kamu capek?" tanyaku sambil merapikan rambut Kirana yang agak kusut.

"Hm, besok juga aku harus kerja, jadi aku harus istirahat." Jawabnya lemah.

Kirana menjulurkan tangannya dan memelukku, membuatku kaget.

"Sebentar saja, aku mau charge tenagaku. Hari ini melelahkan sekali,"

Aku tersenyum mendengar keluhan Kirana dan balas memeluknya.

"Aku jadi belajar sesuatu setelah melihat kak Nino,"

"Apa itu Ran?"

"Hargai waktu yang bisa kita habiskan dengan orang yang kita cintai. Bisa jadi besok lusa kita nggak bisa sama-sama lagi, jadi..."

"Aku bakal berusaha untuk bisa sama kamu selama mungkin."

"Aku juga," aku bisa melihat senyum Kirana dari suaranya dan pelukannya yang semakin erat.

Aku bisa memahami bagaimana perasaan kak Nino dan pacarnya. Aku yakin mereka juga tidak akan mau dipisahkan. Menurutku, cinta itu bisa menjadi sumber kekuatan. Kekuatan untuk berusaha menjadi lebih baik, kekuatan untuk berjuang untuk hidup lebih lama lagi misalnya. Doaku hanya satu, aku bisa bersama Kirana selama mungkin yang kubisa.

"Kak Nino juga pasti maunya seperti ini," cetus Kirana tiba-tiba

"Maksudnya?"

"Ya dia mau seperti kita, berusaha untuk bisa bersama orang yang dicintai selama mungkin,"

"Jangan khawatir, kak Nino pasti berubah seperti dulu lagi,"

"Aku harap juga begitu."

*

Nino P.O.V

Aku bisa melihat Ryfan sedang memeluk Kirana dari jendela kamarku. Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang saat melihat mereka berpelukan begitu. Ada perasaan bahagia, sedih, dan iri. Ya, iri. Karena aku tahu betul rasanya menjadi mereka yang saling mencintai, berharap berumur panjang dan bisa hidup selamanya berdua.

Tiba-tiba kepalaku pusing dan aku juga merasa mual. Sepertinya aku terlalu kelelahan hari ini. Aku berharap Kirana tidak terlalu lelah seperti aku. Aku memutuskan untuk segera berbaring, berharap pusing yang kurasakan bisa segera menghilang. Rasanya pusing itu semakin menjadi dan aku hampir kehilangan keseimbangan.

"Nino!" Ibu menahan tanganku. Aku hampir jatuh dan menabrak meja.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya ibu dengan wajah khawatir.

"Nggak, bu. Cuma nggak enak badan,"

"Mungkin kamu terlalu capek hari ini. Ibu antar ke kamar ya?"

Aku membiarkan ibuku menuntunku ke kamar. Aku merasa lemah sekali, sampai-sampai masih harus dituntun ibu.

"Ibu tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang," kata ibu.

"Sebelum bersama ayah, ibu juga pernah mengalami hal yang sama denganmu, Nino. Calon suami ibu dulu, meninggal dunia karena menyelamatkan ibu,"

"Maksudnya bu?" tanyaku kaget.

"Waktu itu ibu akan menikah. Sekitar satu bulan sebelum tanggal pernikahan, ibu pulang kantor dan calon suami ibu mau menjemput. Tapi, hari itu hari yang sial, ibu hampir dirampok, dan dia datang tepat waktu, hanya saja dia terkena tusukan preman hingga meninggal," kata ibu dengan suara tercekat.

"Ibu menyalahkan diri sendiri, dia meninggal karena ibu, dan sama sepertimu, ibu hidup dalam penyesalan, berpikir itu adalah hukuman yang setara dan bisa menebus kematiannya, tapi ibu salah. Dia sudah pergi, dan bagaimanapun ibu menghukum diri sendiri, ibu tidak bisa membawanya kembali hidup. Untungnya, ibu bertemu ayah yang bisa meyakinkan ibu kalau cara terbaik membalas orang yang mencintai kita adalah kita harus hidup dengan baik juga," aku terdiam mendengarnya.

"Jadi Nino, sikap menghukum diri seperti ini tidak akan membawa Alisia kembali hidup. Kamu yang harus merelakan semuanya, menerima, dan melanjutkan hidup. Seperti ibu melanjutkan hidup dan akhirnya bisa bahagia. Awalnya mungkin sulit, tapi segalanya bisa lebih mudah saat kamu mau menerima dan merelakan,"

Aku diam mendengarkan cerita ibu. Aku tidak tahu ibu sendiri punya cerita yang menyedihkan seperti itu. Mungkin ibu benar, aku harus memulai hidupku lagi. Kata-kata ibu sama dengan Kirana, kalau aku harus bisa menjalani hidupku. Bahwa cara terbaik membalas orang yang sudah pergi dan mencintai kita adalah dengan menjalani hidup yang baik. Alisia, diatas sana, apa kamu setuju dengan ibu dan Kirana?

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun