Mohon tunggu...
Yusrina Imaniar
Yusrina Imaniar Mohon Tunggu... QC Supervisor -

If you want to give me feedback or even REPOST my stories, please contact me on : Email : iyusrina30@gmail.com Instagram : @yusrinaimaniar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pangeran Hitam, Putri Cahaya, dan Ksatria Putih (Part 6)

17 November 2017   09:03 Diperbarui: 17 November 2017   09:08 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nino P.O.V

Kirana dan Ryfan terlihat lebih akrab. Sarapan bersama, pergi bekerja bersama, dan hampir setiap hari sekarang ini Kirana duduk dipinggir jendela saat Ryfan belum pulang. Aku menyadari pasti sesuatu sudah terjadi. Seperti sekarang ini. Gadis itu duduk dipinggir jendela walaupun hari masih pagi karena Ryfan akan pulang pagi ini. Ia melamun sambil melirik ponselnya sesekali.

"Kirana, bisa bantu ibu menggoreng ikan?" tanya ibu dan membuat lamunan Kirana pudar. Gadis itu mengangguk dan segera berlari menuju dapur, melewatiku bagaikan angin.

"Hari ini kamu jadi pergi ke Jakarta?" tanya ibu sambil tersenyum.

"Ya... aku harus kesana," jawabku murung.

"Harus?"

"Hari ini adalah hari kelahiran sekaligus hari kematiannya bu," ucapku terbata-bata.

Ibu memelukku, seolah memberikan kekuatan. Aku hanya diam, aku bingung harus berkata apa. Aku juga tidak bisa menceritakan segalanya.

"Dia sudah pergi, No. Apa harus kamu terus begini? Menghukum diri sendiri dan menutup diri? Ibu yakin, Alisia nggak mau kamu jadi begini. Sudah dua tahun, kamu sudah harus bisa melupakan segalanya, memulai kehidupan baru. Kalau Alisia benar-benar mencintaimu, dia nggak akan mau kamu seperti ini dan ibu yakin, dia mencintai kamu sampai akhir hidupnya," kata ibu sambil menepuk bahuku.

"Aku tetap mau kesana, bu," ucapku tegas.

"Baiklah, tapi bawa Kirana juga kesana, ibu nggak mau kamu sedih disana sendirian. Cepat pulang juga."

"Eh? Aku harus ikut kemana?" Kirana menatapku dan ibu bergantian sambil memiringkan kepalanya.

"Ke Jakarta. Temani Nino ya? Mau, kan?" tanya ibu pada Kirana.

"Hmm... Baiklah bu. Kirana ganti baju sama telepon Ryfan dulu ya,"

Ibu mengangguk dan memelukku sekali lagi. Aku benar-benar harus pergi. Ini adalah janji yang kubuat didepan makam Alisia saat Alisia disemayamkan. Aku akan berkunjung kesana setiap hari ulang tahunnya, membawakan mawar putih kesukaannya. Aku berjanji untuk menceritakan apa yang terjadi saat dirinya tak ada. Aku berjanji... untuk terus mencintainya hingga akhir.

*

Ryfan P.O.V

Kirana meneleponku dan mengatakan kalau dia harus pergi ke Jakarta menemani kak Nino. Aku tidak bisa melarangnya. Lagipula, aku sudah tahu apa tujuan kak Nino pergi ke Jakarta. Ia ingin melihat Alisia. Padahal, aku dan Kirana sempat memiliki rencana bepergian dan kami akan mengajak kak Nino lagi. Awalnya aku berharap kak Nino akan melupakan hari ini, tapi ternyata tidak. Gadis itu seperti sudah membawa hidup kak Nino bersama kematiannya. Disaat seperti ini kak Nino pasti butuh teman. Aku yakin Kirana bisa membantu kak Nino disaat begini. Gadis itu ceria, saking cerianya dimataku dia sangat bercahaya. Hidup kak Nino yang gelap saat ini mungkin bisa sedikit terang.

Sejak kecil, kak Nino sangat disayangi oleh kedua orangtuaku. Apapun yang dikatakan dan dilakukannya selalu benar. Bahkan tidak sulit bagi kak Nino mendapatkan restu atas hubungannya dan Alisia. Satu-satunya yang kumiliki untukku sendiri mungkin hanyalah Kirana. Kirana adalah alasan atas segalanya, termasuk alasanku memilih jurusan kuliahku.

<<

8 tahun yang lalu, rumah sakit kamar rawat Kirana

Kirana terlihat sangat lemah. Wajahnya begitu pucat dan dia sekarang ini sedang tidur. Aku duduk disebelahnya, bergantian menjaga Kirana. Butiran keringat didahinya membuat dia terlihat gelisah. Sinar hidup dari wajahnya menghilang. Dua hari yang lalu Kirana ditemukan pingsan oleh kak Nino. Badannya panas tinggi. Melihat Kirana seperti ini membuatku merasa tidak berdaya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa.

"Kirana pasti baik-baik saja. Sebentar lagi dia pasti sehat," kak Nino menepuk bahuku.

"Aku agak menyesal kenapa bukan aku yang pertama menemukan Kirana,"

"Sama saja, mau aku atau kamu, Kirana pasti merasa sama. Mungkin dia bersyukur aku yang menemukan Kirana, tapi dia juga pasti bersyukur karena kamu ada disini."

"Kenapa aku nggak bisa sadar kalau Kirana sudah mulai sakit sejak terakhir pergi les sama-sama? Aku bahkan nggak mendengarkan keluhannya yang ingin pulang dan mengeluh pusing. Sekarang juga aku nggak bisa melakukan apapun buat bantu dia. Aku benci seperti sekarang. Aku nggak bisa apa-apa,"

Kak Nino tersenyum bersimpati sambil berusaha menghiburku.

"Kalau begitu, kamu jadi dokter saja. Mungkin kamu nggak bisa menolong Kirana sekarang, tapi kamu bisa menolong Kirana nanti. Memang sih, nggak mudah, tapi itulah serunya, kamu harus usaha lebih keras kan? Aku tahu sih cita-cita kamu jadi tentara, pengen jadi anggota pasukan khusus kayak yang kamu lihat di film-film, tapi banting setir sedikit nggak apa-apa kan?"

Aku diam dan memikirkannya berulang kali. Aku memandangi wajah Kirana yang masih pucat dan tertidur. Menjadi tentara mungkin menjawab mimpiku, tapi mungkin aku tidak akan memiliki banyak waktu lagi. Ditambah lagi, saat Kirana begini lagi, aku tidak akan bisa membantu. Sama seperti saat ini. Aku mencintainya, bahkan sepanjang yang kuingat, hanya dia yang kucintai. Kalau begitu... aku akan mengganti jalanku, aku akan menjadi berguna bagi Kirana.

>>

Nino P.O.V

Aku menyetir dengan hati-hati. Kecepatanku cenderung tidak lagi sama sebelum aku kecelakaan. Aku masih agak takut untuk menyetir, apalagi sekarang ini Kirana ikut denganku. Gadis ini nampaknya tidak mengerti apa yang akan dia hadapi atau datangi. Dia berangkat dengan senyumnya yang ceria, seperti biasanya.

"Sebenarnya kakak ada acara apa pergi ke Jakarta? Padahal tadinya aku dan Ryfan mau ajak kakak jalan-jalan juga," akhirnya ia bertanya.

"Aku mau ke pemakaman. Hari ini hari ulang tahun pacarku,"

"Pacar...?"

"Pacarku yang meninggal tiga tahun yang lalu,"

"Hmm maaf kak, aku..."

"Nggak apa-apa,"

Aku kembali fokus menyetir. Kirana mulai meremas jari-jarinya lagi . Aku semakin menyadari dan mengetahui kebiasaan-kebiasaannya. Jika Kirana gugup atau merasa bersalah, ia akan meremas jarinya. Kebiasaan itu memiliki kemiripan dengan Alisia...

<<

Alisia masuk ke dalam mobilku. Hari ini, aku berniat untuk mengajaknya bertemu ibu dan kak Safira. Mumpung keluargaku sedang di Bandung, aku ingin Alisia bertemu dengan keluargaku. Aku ingin Alisia mengenal keluargaku dan keluargaku mengenal Alisia. Bagiku, Alisia adalah calon keluargaku juga, jadi aku ingin Alisia bisa segera mengenal keluargaku, terutama ibu.

Ibu memang bukan orangtua yang rewel, apalagi masalah pilihan anak-anaknya. Tapi tetap saja memikirkan Alisia dan ibu akan segera bertemu membuatku gugup juga. Dua wanita terpenting dalam hidupku akan segera berjumpa.

"Ibu kamu suka apa? Kue? Manisan?" tanya Alisia.

"Ibu lebih suka buah-buahan dibanding makanan seperti itu,"

"Hmm... kalau buahnya buah apa? Apel? Anggur? Stroberi?"

"Anggur. Kenapa memangnya?"

"Aku bingung harus bawa apa. Kira-kira ibu kamu suka sama aku nggak ya? Kalau ibu kamu nggak suka aku bagaimana? Ah iya, baju. Ibu kamu sukanya anak perempuan yang pakai baju kayak apa? Gaya aku aneh nggak?" tanyanya mulai cerewet, membuatku menghentikan mobil.

"Ibu bakal suka kamu. Kamu cantik, dan ibu juga bukan orang yang rewel kok. Asalkan baju kamu sopan, itu juga cukup. Tenang ya," ujarku sambil memegang tangannya.

Alisia mengangguk, tapi jemarinya tidak mau diam. Dia mulai menggesekkan kuku ibu jari dan telunjuk tangan kanannya. Dia tidak tenang, perasaannya sedang kacau dan mungkin dia juga sedikit stres. Aku memang mengajaknya mendadak, karena kedatangan ibu yang juga mendadak. Aku meraih tangannya, menghentikan gerakannya yang memainkan kukunya.

"Berhenti, jari kamu bisa luka," kataku.

"Aku takut,"

"Semuanya pasti berakhir baik," Alisia mengangkat kepalanya saat mendengar kataku. Ia menatapku dengan matanya yang bersinar dan menarik bibirnya, tersenyum padaku. Saat ini aku tahu, satu-satunya wanita yang kucintai selain ibu adalah dirinya.

>>

Aku memegang tangan Kirana tanpa sadar. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin dia tahu aku sudah tidak apa-apa. Walaupun aku menangis seperti apapun, walaupun aku memohon dan sebagaimana juga aku meminta, Alisia tidak akan kembali padaku. Aku mulai bisa menerimanya.

"Aku nggak apa-apa, kamu nggak usah merasa bersalah," kataku. Kirana melepaskan tangannya dari genggamanku.

"Benar?"
"Kamu yang bilang, Alisia nggak akan mau aku terus sedih. Aku pikir kamu benar. Alisia meninggalkan aku dengan kondisi dia mencintaiku, dan aku yakin cara membalas seseorang yang mencintai kita yang pergi dari dunia adalah dengan hidup penuh rasa syukur," Kirana mengangguk semangat.

"Pacar kakak pasti sudah senang sekarang. Kakak harus ingat, kesedihan kita yang hidup hanya akan jadi beban bagi yang sudah pergi. Kita harus menjalani hidup kita sekarang sampai suatu hari kita bisa bertemu lagi dengan mereka yang sudah pergi terlebih dulu,"

Obrolanku dan Kirana jadi lebih banyak, panjang, dan menyenangkan. Hingga kami tiba di komplek pemakaman. Aku membawa buket mawar. Alisia suka hampir semua mawar, tapi merah muda pucat dan putih adalah yang paling dia sukai. Biasanya aku hanya membawakan mawar putih, tanda kesucian hidupnya. Tapi hari ini aku membawakan mawar putih, merah, pink, biru, dan kuning. Aku ingin menunjukkan bahwa kehadirannya dalam hidupku membawa banyak warna. Didepan makamnya, seperti biasa aku memeluk nisannya sesaat. Kukirim doa untuknya, satu-satunya hadiah yang bisa dia terima.

"Aku disini," bisikku pada Alisia.

"Selamat ulang tahun, Alisia. Aku sudah mulai merelakanmu. Tapi aku pikir nggak ada yang bisa menggantikanmu. Kamu tahu, dunia terasa membosankan tanpamu..."

"Nino?" aku mendengar seseorang memanggilku. Tante Lidia, ibu Alisia berdiri di belakangku.

Aku berbalik dan melihat tante Lidia. Wajahnya mirip sekali dengan Alisia. Aku tak bisa membendung air mataku. Selama ini aku merasa begitu berdosa, bersalah karena aku yang mengantar putrinya pada kematian.

"Terima kasih sudah selalu datang untuk Alisia. Alisia pasti senang," katanya sambil menepuk bahuku.

"Tante... gara-gara aku..."

"Sudahlah Nino. Tante dan kami semua nggak pernah menyalahkan kamu atas kepergian Alisia. Kepergian Alisia sudah takdirnya, bukan salah kamu,"

"Tapi tante..."

"Tante tahu kronologisnya seperti apa. Nggak ada yang perlu disalahkan. Tante juga ingin bilang terima kasih karena sudah mencintai Alisia bahkan setelah Alisia nggak ada. Mulailah lagi hidupmu, Nino. Alisia sudah menerima cukup banyak cinta kamu. Takdirnya mungkin nggak menyenangkan. Alisia harus pergi meninggalkan kita semua. Tapi, Alisia nggak akan mau kamu terus sedih. Tante harap, kamu bisa segera memulihkan hidup kamu lagi. Alisia bukan untuk diratapi, tapi untuk dikenang, membuat kita bahagia saat mengingatnya." Aku terdiam, aku hanya terus menangis tanpa henti.

"Ini kalung dari kamu kan? Maaf tante baru kembalikan sekarang. Alisia pasti ingin kalung ini ada sama kamu lagi,"

Aku menerima kalung emas putih dengan liontin matahari. Aku membelikan ini karena bagiku Alisia adalah cahaya untuk hidupku. Alisia adalah putri cahaya bagiku. Membawa kebahagiaan bagi hidupku yang gelap. Hanya saja... cahaya itu sudah terkubur sekarang, terpisah dariku. Tante Lidia menepuk bahuku lagi dan pergi, meninggalkan aku dan Kirana yang berdiri tak jauh dari makam Alisia. Ia mulai mendekatiku dan duduk disebelahku.

"Hai, kak Alisia. Aku Kirana. Seumur hidup aku mengenal kak Nino, dan aku yakin, cintanya kak Nino hanya buat kakak. Kakak sangat beruntung. Kakak jangan khawatir, aku dan Ryfan akan menjaga kak Nino. Kami pasti memastikan kak Nino bahagia. Jadi sekarang kak Alisia bisa tenang,"

Aku meneteskan air mataku lagi dan memegang kalung matahari milik Alisia didepan wajah Kirana yang kaget.

"Aku yakin, Alisia nggak keberatan kalau kalung ini dipakai kamu,"

Kirana mengambil kalung itu dari tanganku dan duduk disebelahku.

"Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pacar kakak?" aku terdiam beberapa saat sebelum menjawabnya.

"Hari itu hari ulang tahunnya. Aku menjemput dia ditempatnya bekerja. Aku sudah merencanakan segalanya, Ran. Aku memesan restoran di gedung tinggi yang dia inginkan, aku sudah memesan seratus mawar di restoran itu. Aku membelikannya cincin yang akan kugunakan untuk melamarnya. Segalanya aku harap untuk sempurna..."

"Aku yang salah, aku memilih menggunakan jalan tol padahal lokasinya nggak terlalu jauh. Kami nggak akan terlambat walaupun nggak lewat jalan tol. Tapi hari itu, aku mau supaya kami cepat sampai dan aku segera melamarnya. Tapi..." aku terisak mengingatnya, Kirana menepuk bahuku.

"Ada mobil boks yang terguling ke arah kami dan yang aku ingat hanya aku melihat Alisia dengan kaca besar yang menancap di dadanya. Saat aku bangun dua hari kemudian..."

<<

Aku membuka mataku dan melihat cahaya putih. Aku bisa mendengar suara ibuku, Ryfan, dan Kak Safira yang memanggil namaku. Sekejap saja ruangan dipenuhi oleh dokter dan juga suster. Aku masih merasa sulit bicara, tapi aku penasaran dengan apa yang terjadi.

"Alisia..." kataku lirih. Ibuku menggenggam tanganku. Aku ingin bicara, tapi mulutku terasa kelu.

Aku masih diam hingga aku sadar sepenuhnya. Aku melihat ibu, Ryfan, dan kak Safira yang hanya diam dan saling melempar pandangan.

"Alisia... mana?" tanyaku lagi.

"Nino, istirahat dulu, kamu baru sadar,"

"Alisia mana, bu?"

"Nino, kamu masih harus istirahat," kak Safira menepuk bahuku.

"Mana Alisia?!"

"Alisia... Alisia sudah pergi..."

Aku butuh waktu hingga bisa mencerna kata-kata ibu. Alisia bukan pergi meninggalkanku di rumah sakit untuk sebentar. Dia pergi selamanya, ke tempat yang tidak bisa kugapai lagi. Alisia hanya bertahan hingga beberapa menit sebelum aku terbangun. Seolah-olah dia menyerahkan nyawanya agar aku terbangun. Aku mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Jika saja aku boleh memilih, aku tidak ingin terbangun. Aku ingin terus bersamanya, dibandingkan hidup tanpanya. Aku hanya menyadari ini adalah hukumanku, hidup tanpa Alisia.

*

Kirana meneteskan air matanya saat mendengarkan ceritaku. Ia memegangi kalung Alisia dan masih terus menangis bahkan saat aku sudah berhenti bercerita. Aku merasa sedikit lega karena sudah menceritakan kejadian Alisia, seolah aku sudah membagi bebanku yang kupendam sendiri selama tiga tahun.

"Jadi... kakak hanya memikirkan itu selama tiga tahun? Aku nggak bisa bayangin rasanya. Setiap hari kakak mungkin menyalahkan diri sendiri. Rasanya pasti sakit," Aku terdiam dan membiarkan Kirana menepuk bahuku, mencoba menguatkan aku.

"Ibu sama Ryfan nggak tahu, kan? Kenapa kakak nggak mau cerita apa yang terjadi sebenarnya? Mereka hanya tahu kakak dan pacar kakak terlibat kecelakaan, tapi kakak nggak pernah menceritakan yang kakak rasakan. Tapi, kalau aku boleh jujur, menurutku kakak nggak salah,"

"Nggak salah? Aku yang salah mengambil keputusan dan membuat Alisia pergi,"

"Itu semua sudah takdir. Lagipula, bukan kakak yang membuat kecelakaan itu terjadi. Mobil boks itu yang terguling dan menabrak mobil kakak. Kakak dan pacar kakak hanya korban, dan itu bukan kesalahan. Hanya nasib sial yang nggak bisa dihindari,"

"Tapi kalau aku nggak ngambil keputusan, kecelakaan ini nggak mungkin terjadi!"

"Kak, umur manusia sudah ada yang atur, walaupun hari itu kakak nggak ngambil keputusan itu, pacar kakak tetap akan pergi karena sudah takdirnya kak!" Aku diam, kaget mendengar suara Kirana yang meninggi.

"Aku ngerti kakak sedih, aku ngerti kakak merasa bersalah, tapi sikap kakak selama ini bukan sikap yang tepat. Yang ditakdirkan pergi tetap akan pergi, dan kita nggak akan bisa mencegah itu. Rasa bersalah kakak juga nggak akan berguna karena disini kakak dan pacar kakak hanya korban. Menghukum diri sendiri seperti ini selama tiga tahun nggak akan bisa membawa pacar kakak kembali hidup. Hal yang bisa kakak lakukan hanya mensyukuri kenyataan kalau kakak hidup dan menjalani hidup kakak dengan baik,"

"Walaupun kakak tahu kalau akan ada kecelakaan hari itu dan kakak bisa menghindarinya, pacar kakak juga tetap akan pergi karena umurnya hanya sampai hari itu. Apa kakak pikir, pacar kakak akan senang kalau lihat kakak seperti ini? Kalau dia benar-benar cinta, dia malah akan benci sikap kakak seperti hari ini. Dia pasti mau kakak bahagia walaupun dia sudah nggak ada. Cara terbaik kita membalas cinta orang yang meninggalkan kita adalah menjalani hidup dengan baik juga,"

*

Update Minggu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun